Jumat, 02 Oktober 2015

Bakso malang di Yogyakarta #tanpa itinerary 3

“Darimana dan mau kemana, mbak ?”

Saya senyum sebentar lalu berdehem sebelum menjawab pertanyaan yang di lontarkan seorang pemuda yang saya temui di kapal fery Gilimanuk-Ketapang.

“Mmmm .. darimana ya ?” saya melempar pandangan ke lautan luas, dan kembali berkata “Dari Bali sih”

“Ooh, Bali, sekarang mau kemana ?”

Saya menganggukkan kepala “Mau ke Banyuwangi” singkat saya.

“Kerja ?” Tanyanya lagi. Bagaimana ini ? Tadinya saya hanya mau menjawab sekenanya, tapi sepertinya saya tidak bisa seperti itu, selain saya suka berbagi cerita, saya pun bahagia berbincang dengan orang asing.

“Mmmm, jadi, saya tuh dari Lombok, lanjut kemaren ke Bali, nah, sekarang mau ke Banyuwangi”

Pemuda itu, mereka bertiga mengangguk “Mau ngapain, mbak ?”

Ini pertanyaan mematikan bagi saya. Saya kembali melempar senyum “Jalan-jalan aja” ketiganya menatap saya heran, salah seorang mengeluarkan ‘hah ?’. Saya tertawa “kurang kerjaan, ya ?” ungkap saya masih menyisakan tawa.

Ketiganya ikut tertawa bersama saya, petang itu angin laut terasa bersahabat. Pun dengan saya bersama tiga orang asing yang tertawa tanpa jeda, entah, menertawakan apa.
*

Lombok done. Disana, kami mempunyai tempat singgah, rumah seorang teman lama. Bali pun done. Ada beberapa teman yang bekerja di Denpasar, kami menginap dua malam di kosan mereka. Banyuwangi, satu-satunya tempat dimana saya harus tidur seorang diri di sebuah kamar sewaan. Ya, ini masih tentang 10-16 Mei #tanpa itinerary, saya bersama tiga laki-laki yang menyenangkan.

Stasiun Lempuyangan setengah delapan malam menyambut kami dengan keramahannya. Sampai di Yogyakarta, saya sudah pasrah, uang saya sudah habis. Pokoknya tidak ada yang saya khawatirkan selama saya punya Ipul, Jono dan Hardi. Di Yogya, kami tidak ada tempat untuk ditumpangi. Ada, beberapa teman, tapi jauh dari kota, belum lagi, kami tak memberi kabar sebelumnya.

“Mau nginep dimana ?” tanya saya kepada mereka, kami terus melangkah di pinggir jalan, menyusuri gang demi gang stasiun Lempuyangan ke arah Malioboro.

“Gue pernah nginep di sekitar sini, sebelah mananya gue lupa” Hardi clingak-clinguk sambil terus melangkah.

Kami melangkah, terus melangkah. Saya pun sibuk bertanya kepada beberapa teman tentang penginapan di dekat Malioboro. Entah berapa jumlah langkah kaki kami, tumpukkan menit telah berlalu.

“Capeeeeeek” saya mengeluh.

Kami, berjalan masuk Malioboro, pas sampai ujung, balik lagi. Masuk gang sepi, keluar lagi ke jalan raya. Kereta Sri Tanjung mengantarkan kami sampai Lempuyangan tepat setengah delapan malam, dan saat saya melihat angka digital di sudut layar ponsel, pukul sepuluh kurang. Berapa lama kami melangkah ?

Ya, memang, hari itu bertepatan dengan long weekend, hampir semua penginapan sekitar Malioboro dan Lempuyangan penuh, bukan hampir, semuanya penuh.
“Udahlah, kita tidur di pinggir jalan aja. Kita tuh disini cuma semalam doang, besok udah langsung pulang ke Jakarta. Udah malam juga, tanggung nyewa penginapan” usul saya, kami sedang beristirahat di pinggir jalan, di depan sebuah warung. Ya, kami digelari tikar untuk duduk.

“Ih, kita tuh enggak masalah, nyari penginapan buat elo ! Elo cewek !” Jono menyambar usulan saya, kalimatnya membuat saya diam.

“Gue juga mau mandi, lo enggak pengin bersihin badan apa ?” Hardi angkat bicara. Aah, mereka ini, kan, laki-laki, kenapa jadi lebih rumit sih ? batin saya.

“Yaudah ayo ! cari penginapan lagi. Atau enggak, siapa kek, ayo bareng gue kita cari. Nah, siapa yang tunggu disini” saya memberi usul, ketika saya baru ingin berdiri, Ipul mencegah “Gue sama Hardi aja yang nyari, lo berdua disini nungguin tas, nanti kalo dapet langsung kita kabarin” kami berempat sepakat. Ipul dan Hardi berlalu. Saya dan Jono ? Tentu saja bersantai.

“Jon, mesen minum apa ? Nutrisari mau, kayak gue ?” Jono mengangguk-angguk sambil mengeluarkan ponselnya yang jadul.

“Jon, lo laper, enggak ? Bakso, yuk ! tuuh, tukang bakso malang” saya mengarahkan telunjuk ke sisi kanan, dimana ada gerobak bakso yang sedang mangkal.

Jono mendecakkan lidah, melirik saya sebentar “Eluu .. enggak enak ah, Ipul sama Hardi lagi nyari penginapan, kita malah enak-enakan makan. Entar aja nunggu mereka, makannya bareng-bareng” saya menghela napas panjang. Menyandarkan tubuh ke tumpukkan tas. Iya, sih, Jono benar.

“Tapi, gue laper, Jon .. Udah, nanti kita makan lagi, pura-pura belom makan. Bodo, ah, gue mau makan pokoknya !” saya bangkit dan melangkah mendekati tukang bakso.

“Heh .. .. !” Jono memanggil, saya terus melangkah, tak peduli.

“Woy” Jono terus berteriak, oke, saya menoleh, menggerakkan kepala “Gue jangan pedes-pedes, yak !”

Ngejleb !!!!

Saya dan Jono terbahak kencang. Dua mangkok bakso Malang deal kami pesan, kami berdua makan buru-buru, takut kepergok Ipul sama Hardi. Ya, mereka enggak akan marah, saya percaya itu. Tapi, kan, enggak enak aja. Gak setiakawan gitu.

“Waduuuh, Ipul nelpon lagi nih.. huhahuhaa” Jono yang lagi keringatan juga kepedesan memandang layar ponsel yang terus berbunyi.

“Lo yang ngomong nih !”

“Duuuh, gue juga lagi kepedesan, bentar !” saya meneguk minuman dingin, mengatur napas, dan menelan semua yang tersisa di pangkal tenggorokkan.

“Iya, Pul ..”
“Iya, kenapa ? Hah ? Cuma satu kamar ! Semalam dua ratus ribu ? enggak ada lagi yang lainnya ?” saya mendesah “Iya, iya, enggak apa-apa, ada dua kasur, kan ? iyaaa .. dimana ? penginapan apa ? oke. Oke”

Saya menatap Jono yang masih menikmati kuah terakhir bakso Malang “Apa kata Ipul ?”

“Ada, lumayan dari sini. Satu kamar doang, mereka tepar, kecapean. Kita naek becak aja, Jon. Ayooo !” Jono merogoh-rogoh saku celananya.

“Punya duit, lo ?” curiga saya dengan cengiran, Jono mengeluarkan recehan dari saku celananya “Eh, Jon, gue udah enggak punya duit, serius. Di ATM gue juga kosong. Ini tinggal duit sharecost kita doang buat nyewa penginapan, sama cukup buat makan-lah” Jono angguk-angguk. “Bakso, gue aja yang bayar” Jono mengeluarkan rupiahnya “Enggak cukup ini, joooon !” kami berdua saling tatap kemudian tertawa.

“Pokoknya, ini diem-diem aja lo makan bakso. Bilangnya kita belom makan”
“Iya Jon, iya !”

Kami bersiap, mengangkut tas satu-satu, lalu meninggalkan tempat lesehan itu, berjalan sedikit sebelum menyetop becak motor.

Sippp.

Sampai di penginapan, Hardi dan Ipul sepertinya kelelahan. Hardi sudah pulas lebih dulu, Ipul masih menyambut kedatangan saya dan Jono, setelah menemani saya membayar, Ipul langsung naik ke atas kasur dan .. .. hening !

Tinggal-lah saya dan Jono yang masih terjaga, kami berdua saling bergantian membersihkan diri.

“Puuul .. Diiii .. mau pada makan, enggak ? eeey .. bangun ! Makan dulu” enggak ada jawaban, Hardi benar-benar enggak bersuara, Ipul masih menyaut “emmmmmmm .. aaaaaaaaaa”

“Jon. Lo mau makan, enggak ?” Jono dan saya senyum menjijikan.

“Yaudah ayo beli aja dulu, dua bungkus aja. Barengan aja makannya” Jono menyarankan, saya setuju. Saya dan Jono keluar mencari makan.

Sebungkus mie goreng dan dua bungkus nasi goreng yang kami pilih. Tapi, Ipul sama Hardi tetap enggak bangun. Lagi-lagi, saya dan Jono yang menikmati sebungkus mie goreng itu. Kami makan berdua benar-benar tanpa dosa, ini enak rasanya, pokoknya.

Berkali saya membangunkan Ipul dan Hardi, sepertinya ngantuk mengalahkan rasa lapar. Ipul baru benar-benar bangun ketika saya memintanya untuk pindah, ya, kalau Ipul tidur di kasur yang satu, dan Hardi tidur di kasur lainnya, Jono tidur di pertengahan, di lantai. Saya ?

Malam itu, lagi, saya tidur bersama tiga laki-laki itu. Beda kasur.
*
Saya tidak dapat menjabarkan makna kemewahan dalam kata-kata, sebelum akhirnya saya menemukan, kemewahan tak lebih hanya satu kata yang membalut tumpukkan-tumpukkan hal sederhana.

Yogyakarta.

Pagi sekali kami sudah bangun. Bersiap untuk mempergunakan waktu sebaik mungkin. Tiga laki-laki itu sudah bersiap, sudah ganteng dan wangi-wangi. Saya dan Hardi yang lebih dulu keluar, kami menunggu Ipul dan Jono di depan gerbang penginapan.

“Duh, lama, ih, mereka” rewel saya, lalu mengetik pesan yang di kirim ke Jono dan Ipul.
“Aduuh ..” tiba-tiba Hardi mengeluh.
“Napah ?”
“Gue pengin boker, Ya”
“Ahahahaa .. Hardi ..”
Ia berbalik badan, melangkah cepat kembali ke penginapan. Dan, Ipul bersama Jono udah bergabung bersama saya.

“Hardi boker” saya mengingatkan
“Yaudah, kita jalannya pelan-pelan aja, nanti juga ketemu”
“Oke”

Kami siap berpetualang !

Yogya memang salah satu kota yang enggak mungkin cukup di kunjungi satu kali. Yogya selalu memanggil siapapun untuk kembali mendatanginya. Dalam beberapa jam waktu yang kami punya, kami hanya bisa mampir ke Candi Prambanan, dan menikmati pinggir jalan kota Pelajar itu. Anything, it’s about the journey, not the destination. Begitu kata mbak Windy Ariestanty.

Di Yogya, saya mendapat satu pukulan keras dari kalimat Ipul, ketika saya bilang “Ah, enggak usah ke candi Borobudur. Gue udah pernah”

Dengan tegas Ipul menjawab “Kalo gitu ngapain kemaren ke Bali ? gue udah pernah, Jono juga udah pernah, ngapain kita kemaren kesana ?”

Ya. Satu tempat tak akan pernah sama saat kita kembali mengunjunginya dengan orang yang berbeda. Selalu ada hal baru, cerita baru, sekalipun dengan orang yang sama ke tempat yang sama. Itulah perjalanan.




2 komentar:

  1. Oh..jadi ude pada makan tuh malem?! πŸ˜’

    BalasHapus
  2. Kita di khinaitin puuulll....
    πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚

    BalasHapus