Kamis, 22 Oktober 2015

BATAS LANGKAH

savana pinggir jalan, Lombok
pict by Jono

“Nanti, kalau kamu udah nikah. Terus kamu punya anak perempuan, anak kamu suka traveling juga, pergi berhari-hari. Kamu akan ngerti gimana rasanya jadi mama, gimana perasaan mama”

Deg.


Untuk beberapa menit gue ngerasa kalau tenggorokkan gue tersumpal sesuatu. Maa, begitu panggilan gue untuk wanita yang melahirkan dan membesarkan gue. Maa enggak pernah melarang ini itu dalam hidup gue, hampir semua keputusan di berikannya mutlak ke gue. Tapi untuk permintaan gue kali ini, Maa melarang keras.

Emang sedikit neko-neko sih, gue minta izin untuk pergi selama dua puluh lima hari. Kemana ? Kemana aja ! Rencana itu udah terpikirkan sejak setahun lalu, gue akan melakukan perjalanan selama dua puluh lima hari sebelum usia gue dua puluh lima tahun. Ya, sebuah keinginan yang udah begitu apik gue persiapkan. Waktu yang ada dan uang yang sebisa mungkin cukup. Tapi kemudian ? Maa menghentikan langkah yang bahkan belum gue mulai.

Kalau mau di paksain, gue yang akan menang. Sekeras apapun Maa melarang, tapi kalau gue udah meyakinkan, Maa akan pasrah. Beliau akan bilang “Yaudah terserah kamu, yang penting mama minta, jaga diri kamu, jangan lupa sholat, dan jangan nyusahin orang. Kalau Bapak mah terserah mama, tapi diam-diam, Bapak itu suka marah kalau kamu pergi lama” pernyataan itu tetap terdengar “Yaudah mama izinin” di kuping gue.

Untuk beberapa hari, gue membiarkan hati yang memutuskan. Gue lepasin satu persatu ; ego, ambisi, dan angan. Rasanya, gue terlalu egois kalau tetap melakukan perjalanan itu. Suatu malam, gue ingat waktu gue sakit. Gue yang seharian muntah-muntah, enggak bisa turun dari tempat tidur, bahkan enggak berdaya sekadar buat melek lama. Maa ini sebenarnya orangnya ‘jijik-an’. Maa paling enggak sanggup kalau harus ngeliat darah dan muntahan. Tapi malam itu semua terabaikan.

“Kita ke dokter aja, yang dekat sini, klinik 24 jam” katanya sambil ngebantu gue duduk. Gue yang udah kayak orang pasrah banget malah menggeleng. Gue paling enggak mau kalau harus berobat. Tapi malam itu, ya, gue emang butuh dokter. Jadilah, kami sekeluarga dengan dua motor pergi berobat. Gue duduk di balik punggung Ana —adek gue— dengan rintihan “Dingin, Na. Aduuh .. kakak kedinginan” padahal gue udah pakai sweater tebal. Adek gue yang masih SMA langsung menghentikan motor, dia ngelepas jaketnya dan langsung di pakein ke gue. Kadang iya ya, di saat-saat tertentu, kita baru sadar, seberapa besar kasih sayang seseorang itu untuk kita. Gue malah lebay, ngerasain perhatian Ana. Itu tengah malam nyaris pagi, sekitar jam duaan, Ana cuma pake kaos tipis sama celana kolor. Gue yakin dia juga dingin. Di jarak yang enggak begitu jauh, Maa sama Paa ada di belakang. Di sepanjang jalan itu, gue ngerasain pipi yang udah basah. Jantung gue detaknya semakin kencang dengan isakkan yang tiba-tiba enggak bisa berhenti.

“Kak, lo, kok, nangis sih ?” Ana nyenggol gue pake bahunya. Gue masih terus nangis, malah makin kencang.

“Kakak, ih !” bentaknya.

“Kakak sedih, Na. Pokoknya kakak sedih” lirih gue yang makin erat meluk Ana. Ana enggak lagi berkata-kata, dia paham seperti apa kakaknya. Butuh waktu kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke tempat yang di maksud. Motor yang gue tumpangin berhenti lebih dulu di depan bangunan bertuliskan ‘klinik 24 jam’.

“Yah, kak, tutup” Gue ngangguk-ngangguk ngeliat gerbang yang tertutup rapat dan lampu ruangan yang di matikan. Iya, klinik itu tutup.

“Yaudah pulang aja yuk !” Gue udah enggak tahan, dingin benar-benar menusuk ke tulang-tulang rusuk gue. Gue sama Ana masih nunggu Maa dan Paa. Enggak lama, mereka datang. Maa langsung turun dari motor, dan astaghfirullah .. Maa menggedor-gedor pintu gerbang klinik itu.

“Mama ngapain ? Orang tutup ini. Ayo kita pulang aja !” Ana negur Maa yang persis kayak orang yang lagi demo kenaikan gaji di depan istana presiden.

“Gimana tutup ? Ini klinik 24 jam, kalau emang mau tutup, ya, ganti dong, jangan 24 jam” bentaknya sambil terus mengetuk gembok pintu ke gerbang. Dan Paa ? Oh my God ! Paa enggak berhenti-henti mencet bel yang ada di salah satu tembok gerbang pintu itu. Gue mendadak kuat, gue sama Ana saling tetap melihat tingkah kedua orang tua kita.

“Mama udah ! Kita pulang aja !” Pinta gue.
“Kamu gimana sih ? Kalau ada apa-apa sama kamu gimana ? Kamu tuh udah kehilangan tenaga, energi, harus berobat !” Maa sedikit berjalan medekati seorang satpam, satpam yang kemudian ikut-ikutan menekan bel. #Jleb

Satpam itu menyuruh orang tua gue untuk terus menggedor gerbang itu. Katanya, ada, kok, dokternya di dalam.

Dan benar ! Lampu-lampu segera di nyalakan, keluar seseorang yang membuka gerbang, gue pun di tangani oleh seorang dokter yang praktek di klinik tersebut. Saat itu, enggak ada yang gue rasain lagi selain rasa syukur atas keluarga yang begitu sempurna.

Ingatan itu ngebuat hati gue tau, keputusan apa yang harus gue ambil.

Akhir tahun 2014 lalu, setelah turun dari gunung ceremei di daerah Kuningan, Maa bilang “Habis ini, mama ngizinin kamu kemana aja, tapi enggak untuk naik gunung” Ya, gue nurut. Sampai menjelang akhir tahun 2015 ini, gue enggak meng-gunung. Dan andaikata, gue kembali mengingatkan pernyataan Maa itu, gue yakin, izin perjalanan dua puluh lima hari akan gue kantongin. Tapi sepertinya, ego gue mulai lepas pelan-pelan. Gue cuma sedang berusaha keras untuk meletakkan kesenangan diri sendiri di urutan paling akhir.

Kadang bahagia itu bukan melulu soal berhasilnya kita mewujudkan mimpi. Bukan tentang terbalasnya cinta yang kita kejar. Tapi ini tentang mereka yang bahagia karena keberadaan kita. Dan itu adalah kemewahan yang sederhana. Kemewahan yang seringnya terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar