Sabtu, 14 November 2015

PERCAYA

picture by Fathurrohman arif
@tjiptotjupu on instagram
Dua hari kemarin, berturut-turut saya bertemu dengan orang-orang asing yang memberikan kepercayaan kepada saya. Bukan. Mereka bukan orang-orang ‘besar’ atau siapapun.

Orang pertama adalah seorang kasir Indomart, malam itu saya sedang berkunjung ke rumah saudara di daerah Jakarta Timur, mama saya menyuruh saya dan Ana─adek saya─untuk membeli beberapa makanan di indomart. Rumah saudara saya dengan indomart tidak terlalu jauh. Setelah mengambil beberapa belanjaan, kita berdua berdiri di depan kasir, menunggu belanjaan di hitung.

“Duh, udah lewat lima puluh, ya ?” saya yang melihat layar perhitungan mendadak panik, saya enggak bawa dompet ataupun uang lebih, saya hanya membawa selembar lima puluh ribuan. Seorang kasir wanita yang menyensor setiap label di belanjaan itu pun berhenti, “Jadi, gimana, mbak ?”

“Kurangin aja belanjaannya, mbak” keputusan yang saya ambil. Dua orang kasir disana saling tatap sebentar. Saya tersenyum kikuk “Maaf, saya cuma bawa uang lima puluh ribu”

“Yaudah enggak apa-apa, mbak. Kurangnya tujuh ribu” kasir lelaki tiba-tiba melanjutkan perhitungan yang sempat tertunda, semua belanjaan saya di masukkannya ke kantong.

“Lho, serius ? Nanti saya balik lagi, kurangnya tujuh ribu, kan ?” Kasir wanita menarik sudut-sudut bibirnya sambil mengangkat satu tangannya untuk menggaruk pipinya, ya, saya mengerti sikap yang di tunjukkan mbak-mbak kasir itu. Saya pun memberinya senyum “Nanti saya balik lagi, kok. Atau, ini di kurangin aja belanjaannya ?”

“Enggak usah mbak, bawa aja” Kasir lelaki yang menjawab dan tersenyum, tulus.

Mungkin, tujuh ribu rupiah bukan nominal yang besar, tapi percayalah, satu rupiah pun kurang dalam perhitungan sebuah perusahaan, maka perusahaan tersebut tetap di sebut rugi.

“Kak, kalau kita enggak balik lagi nih, mereka juga enggak kenal kita. Ya, kan ?” Saya tertawa mendengar kalimat Ana “Iya, benar. Lagian, percaya aja ya, kan, lumayan tujuh ribu” Adek saya mengangguk-anggukkan kepalanya “Mbak-mbaknya kata Ana sih enggak percaya, mas-masnya yang percaya sama kita, kak” senyum saya mengembang “Kalau mas-masnya udah percaya sama kita, kita masih mau ngambil untung ?” Tawa Ana pecah.

Segera, saya dan Ana kembali ke indomart tersebut dan membayarkan kekurangannya.

Selang tiga hari dari kejadian itu, saya kembali bersama Ana bertemu dengan seorang pedagang pecel lele di warung tenda yang juga memberika kepercayaan kepada kami. Malam itu hampir larut, ditemani hujan yang awet sejak menjelang malam, saya dan Ana mencari makanan untuk Paa, niatnya, kita berdua hanya akan membeli satu porsi.

“Kakak kebiasaan, bawa uang pas mulu” bisik Ana ketika saya bertanya “kira-kira berapa ya harga semuanya ? Kakak cuma bawa uang tiga puluh ribu”

“Lho, jangan salahin kakak, tadi, kan, rencana awal kita enggak ikutan beli, beli buat bapak aja. Kalau satu porsi doang, satu ayam goreng, tahu tempe sama nasi, palingan lima belas ribu. Tadi, kan, kakak nanya, kamu mau makan, enggak ? katanya udah kenyang. Terus gimana ?” Ana diam, dia merogoh saku-saku celananya.

“Ada ?”

Ana menggeleng “Di jok .. .. aah, kita pake motor bapak, di jok motor kakak ada tuh uang di tas futsal Ana. Itu coba, di kantong jaket yang kakak pake, biasanya ada” saya ikut merogoh, namun malang, tak serupiah pun ada di mana-mana. Sebenarnya, kita berdua belum tahu, berapa total biaya yang harus kita bayar untuk satu ayam goreng, satu lele goreng, dua bungkus nasi uduk, tahu dan tempe. Tapi Ana dan saya sudah memperhitungkannya lebih dulu. Dan, totalnya lebih dari tiga puluh ribu.

Penjual pecel lele sudah selesai melayani, bapak setengah baya itu menyodori pesanan kami. “Berapa, pak ?”

“Tiga puluh satu ribu”

Deg !

Saya dan Ana saling tatap sebentar, kemudian Ana menyengir, di keningnya seperti tertulis ‘meleset dikit, kak ! kurang seribu doang !’

“Maaf pak, kurang seribu, nanti saya balik lagi deh”

“Jangan nanti, kak ! ini udah mau jam dua belas, masih ujan lagi, besok aja”

Saya tersenyum malu, bingung, dan enggak tahu lagi “Besok kita balik lagi, pak” penjual lele itu menganggukkan kepalanya.

Saya menepati janji, besoknya sepulang dari wara-wiri, saya dan Ana kembali ke warung pecel lele itu dan membayar kekurangannya, seribu rupiah, hal yang di sambut dengan senyum plus gelengan kepala dari sang penjualnya.

***

Dua cerita itu dan dua orang tersebut membuat saya belajar, bagaimana berbesar hati untuk memberikan kepercayaan kepada orang, yang bahkan belum kita kenal. Tidak ada jaminan, bukan, untuk kasir indomart itu ? Apakah saya balik lagi atau tidak ? begitu pula dengan penjual pecel lele. Mereka tidak mempunyai jaminan apapun, tapi mereka percaya. Terlepas dari apapun, saya menilainya seperti itu.

Kepercayaan, memang sebuah hal yang tak ternilai. Tapi tetaplah percaya, ketika kita mempercayai hal-hal yang baik, maka hal-hal yang baik itu pula yang akan kita terima. Berhenti menerka tentang kebohongan, karena berjaga-jaga dari kebohongan berbeda dengan menerka-nerka. Selamanya, ketika kita sulit mempercayai apa dan siapa, selama itu pula ketenangan tidak akan pernah dapat berteman baik dengan hidup kita. Be positive thinking. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar