Sabtu, 28 November 2015

Kenapa menulis?

2005. Saya ingat, untuk pertama kalinya saya mulai memproklamirkan diri bahwa cita-cita saya ingin menjadi ‘penulis’.

Cita-cita yang tercetus dari mulut seorang anak berusia tiga belas tahun pada saat itu. Menulis adalah hal mendasar untuk setiap manusia, sejak kecil, saya meyakini, semua manusia diajarkan untuk menulis. Menginjak remaja, ketika satu hari saya di pinjami sebuah buku yang disebut teman saya novel, saya tidak suka membaca apalagi menulis, tapi, teman saya terus saja menyodori novel ‘tebal’ itu kepada saya.

‘Oke. Oke. Gue pinjam!’ kata saya akhirnya, novel itu saya bawa pulang, enggak untuk dibaca, tapi saya biarkan di dalam tas sekolah. Satu malam, hati kecil saya memerintah untuk membuka novel tersebut, dan saat itu pula, ketika saya membaca halaman pertama dan seterusnya, saya seperti tersedot ke dalamnya. Saya masuk ke dunia yang berbeda, dunia seorang penulis. Setelah rampung membaca novel itu, selanjutnya, membaca menjadi kegemaran saya. Seperti yang sering dikatakan kebanyakan orang, biasanya orang yang gemar membaca, senang juga untuk menulis. Pelan-pelan, saya mencoba menulis, menulis yang enggak biasanya saya tulis. Menulis sebuah cerita, cerita panjang dengan tokoh-tokoh yang saya ciptakan sendiri. Sampai detik ini, menulis, menjadi bagian tak terpisahkan dari diri saya.


Kata Dee Lestari, tulislah apa yang ingin kamu baca. Jangan menulis sesuatu yang kamu sendiri tidak mau membacanya. Misal begini, kamu menulis sebuah novel, ya tulislah novel yang memang ingin kamu baca. Nah, setidaknya, ketika novel itu terbit dan ada di toko-toko buku, maka novel tersebut sudah memiliki satu pembaca dan satu pembeli. Yaitu diri kamu sendiri, penulisnya.

Hampir dua tahun ini, saya beruntung karena memiliki satu pembaca setia. Katanya, apapun yang saya tulis, dia akan membacanya. Setidaknya, sejak saat itu, saya sudah memiliki dua pembaca pasti. Saya sendiri dan dia.

Namanya Hardi. Saya bertemu dengannya di satu perjalanan sekitar akhir maret 2013 silam. Saya tidak tahu apakah dia sungguh-sungguh pembaca saya atau sekadar ingin memberi saya semangat agar tidak pernah berhenti menulis. Saya menyebutnya pembaca bawel, karena kadang, dia begitu berlebihan menagih tulisan saya. Bawel yang saya syukuri. Pernah satu waktu, saya buru-buru menulis sekadar untuk menjawab pesan yang di kirimnya. Hah, dia seolah editor yang memberikan tenggat waktu kepada saya selaku penulisnya. Tapi saya tetap mensyukurinya, karenanya, saya selalu merasa kalau di luar sana ada yang sedang menunggu tulisan saya. Itu sudah lebih dari cukup bagi seorang penulis.



Jika ditarik ke belakang, begitu banyak drama yang saya lalui sejak mulai memutuskan untuk menjadi penulis. Sangat banyak sekali. Tentang impian maju mundur, impian seorang anak yang terbatas fasilitas. Impian seorang buruh yang terhalang waktu. Sampai kepada impian seseorang yang tidak memilki keyakinan akan mimpinya sendiri. Lalu jika sudah sejauh ini, alasan apa yang membuat saya harus berhenti apalagi mundur?

Menulis bagi saya adalah memungkinkan segala ketidakmungkinan. Banyak hal yang memang tidak bisa di katakan atau di sampaikan secara langsung, mungkin, di tuliskan akan tersampaikan dengan cara yang tepat.

Di tahun 2015 ini, saya mempunyai tiga buah buku. Satu buku karya saya sendiri, dan dua buku lainnya karya bersama. Ketiga bukunya saya terbitkan sendiri melalui nulisbuku. Sungguh, mewujudkan impian menjadi nyata memang sebuah kebahagian tak terhingga. Tapi maukah kamu saya beritahu yang lebih daripada itu?




Menjadi sebab mimpi seseorang menjadi nyata, itulah jawabannya.

Satu per satu penulis, yang siapa mereka? mempercayakan naskah mereka kepada saya. Naskah-naskah yang nyaris membuat saya mual karena harus membacanya berulang-ulang. Mual karena pusing dengan tumpukkan naskah tersebut, ini memang bukan pegangan saya, saya penulis yang sedang berperan menjadi seorang editor. Keluar dari jalur yang seharusnya. Tapi bukankah tidak ada larangan untuk mencoba segala yang baru?

Satu per satu, email saya terima. Email dari mereka yang dengan sepenuh hati mengucapkan  terima kasih karena impiannya menjadi seorang penulis telah terwujud dengan adanya buku tersebut. Tidak ada kalimat lain yang saya lontarkan selain ‘teruslah menulis dan berkarya’.

Lalu jika saya bisa menuliskan kalimat itu dan mengirimnya ke banyak orang, katakan pada saya, apa saya pantas untuk berhenti?


1 komentar:

  1. JANGAN PERNAH BERHENTI NULIS

    NULIS TERUS POKOKNYA
    ADA PEMBACA MU YG BAWEL DI SINI

    BalasHapus