Selasa, 17 November 2015

BELUM ADA JUDUL

picture by M. Aan Mansyur
@aanmansyur on instagram
Kemarin malam, saya cukup lama memandang sebuah foto yang di crop dan di kirimkan kepada saya oleh seorang teman. Foto yang di dalamnya tersenyum dua wajah, saya berkali-kali menggeleng ketika membaca caption dari foto itu ‘cocok, oops’ tulisnya.

Kurang sebulan yang lalu, sepulang saya dari kampung halaman Maa di daerah jawa tengah, saya berangkat pagi menuju terminal Sumber Arta daerah Jakarta Timur. Perjalanan yang enggak terlalu lama untuk ukuran saya, sekitar jam sebelas, bus masuk ke tol Cipali. Saya tinggal di Bekasi, bus yang saya tumpangi berakhir di terminal Sumber Arta, ketika bus melewati jalanan tol arah bekasi barat di pukul lima belas kurang, saya sempat menegakkan badan, menatap ke luar jendela.

“Ini bekasi timur, kan, bi ?” Tanya saya kepada adik mama saya yang saat itu menemani perjalanan, bibi saya terlihat bingung, wajahnya jelas menunjukkan ketidaktahuaannya.

“Ini bekasi timur, bi. kakak turun sini aja kali ya, langsung nyampe minta di jemput Ana. Daripada ke Sumber Arta dulu”

“Emang ini dimana ?” Bibi saya malah celingak-celinguk. Saya masih menatap keluar jendela, sekali lagi memastikan kalau jalan tol ini, tol arah Bekasi. Tepat. Bus sempat berhenti sebentar, ada satu penumpang yang turun, ya, ini tol arah Bekasi. Tapi apa yang saya lakukan ? Saya malah kembali menyandarkan tubuh ke sandaran bangku penumpang.

“Turun Sumber Arta aja deh bareng bibi” pada saat itu, sebenarnya, bukan bibi saya yang menjadi alasan saya untuk terus ikut bus itu, bibi saya masih muda dan sudah terbiasa kemana-mana, jadi enggak akan nyasar. Ragu dan lama memutuskan, itulah alasan yang membuat saya diam di tempat. Bus kembali melaju memasuki tol Cikunir, lewat Cakung, masuk terminal Pulo Gadung lengkap dengan kemacetan. Menyesal ? Ada. Kalau saja saya langsung sigap dan bergegas turun saat tahu kalau tol yang sebelumnya adalah tol Bekasi, mungkin, saya sudah minum teh hangat atau makan bakso atau mungkin rebahan (tiduran) di rumah, tapi lihat, saya masih duduk diam di dalam bus yang belum juga sampai di pemberhentian akhir. Rugi ? Jelas, dua jam saya terbuang.

Menjelang maghrib, bus baru sampai di terminal Sumber Arta. Adik saya sudah menunggu disana. Ketika turun dari dalam bus, otak saya memikirkan hal lain.

***

Ragu dan lama dalam memutuskan memang sebuah hal yang sebaiknya di hindari. Kebanyakan dari kita, keseringannya ‘menikmati’ keragu-raguan itu. Kronologinya begini, jika dari awal saya berdiri tegak saat tahu bus memasuki tol Bekasi, kemudian turun, maka saya akan cepat sampai di rumah tanpa harus melewati jalan ini, dan kemacetan itu. Tapi saya memilih tinggal, mencoba menikmati jalan-jalan lain beserta kemacetannya. Saya memang tidak cepat sampai di rumah, tapi saya mendapatkan lebih tontonan di perjalanan. Keduanya sama-sama mempunyai cerita. Bagaimanapun, ujungnya tetap sama, bukan ? Rumah.

Begitu juga dengan cinta. Kadang ada insting kepada seseorang yang begitu dekat dengan diri kita, namun ada ragu dan ketakutan dalam memutuskan, kita cenderung lebih menikmati keraguan itu dengan memandang lebih jauh dan memilih untuk memutar terlebih dahulu. Percayalah, bagaimanapun, tentang cinta, hati selalu tahu kemana ia akan berlabuh. Tugas kita bukan mencari atau menunggu, tapi merasakan.

Di akhir postingan ini, tiba-tiba saya teringat kalimat seorang teman ketika kami masih menggunakan putih abu-abu, begini katanya “Ya, lo ngapain sih kalo pacaran ? Apa yang mau lo jaga ? Aya, buka pikiran lo, di zaman kayak gini udah enggak ada laki-laki perjaka, lo ngejaga diri lo, tapi laki-laki di luar sana ..” dia diam sebentar sambil geleng-geleng kepala “percuma Ya, seenggaknya lo ciuman kek sekali-kali, berkali-kali pacaran, masih aja di segel”

Detik ini, saya paham kata-kata itu. Saat menulis postingan ini, saya, pun, mengerti kenapa berkali kisah percintaan saya begitu menyedihkan.

Tidak sekarang, jika ada kesempatan, saya akan membahasnya ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar