Selasa, 01 Desember 2015

Yang saya tahu, patah hati ataupun jatuh cinta, tidak pernah sesakit ini

“Maafkan aku, sebelum aku menikah denganmu, aku pernah mencintai seseorang” Ucap Fatimah di malam pertama pernikahannya. Mendengar kejujuran dari isterinya, Ali sedikit kecewa.
“Kau tahu siapa orangnya?” Ali menggeleng.
“Seseorang itu adalah engkau, wahai suamiku”


Pada satu kesempatan, saya enggak sengaja membuka postingan lampau blog ini. Sampai kemudian saya menemukan postingan berjudul ‘ini lho pacar gue’, di akhir postingan itu, ada dialog yang saya jadikan pembuka postingan ini. Membaca apa yang pernah saya tulis itu menampar keras diri saya. Sampai detik ini, kisah cinta Fatimah az Zahra dengan Ali bin Abi Thalib tetap menjadi kisah yang begitu saya kagumi. Sangat. Namun sungguh, mencontohnya tidak akan sanggup saya lakukan.

Ini bukan tentang jatuh cinta, juga bukan perihal patah hati. Keduanya pernah saya alami, dan ini rasanya lebih perih.

Seseorang telah membuat saya jatuh cinta lantas patah hati, lebih dari berkali-kali. Saya punya banyak alasan untuk berhenti, namun banyaknya alasan itu seakan tertutup dengan satu keegoisan. Bukankah begitu?  Seorang yang jatuh cinta biasanya tidak pernah mau menerima setumpuk kenyataan. Hatinya keras menuntut dan berharap. Seperti itu, kan?

Saya, sepenuh hati pernah berjuang untuk berhenti. Sepenuh hati juga saya kembali.

Katanya, obat paling mujarab dari patah hati adalah jatuh cinta lagi. Tapi saya sedang tidak patah hati. Lalu haruskah saya jatuh cinta lagi?

Jika memang iya, saya pun pernah mencobanya. Tapi sayang, sepertinya, saya salah memilih tempat berpindah. Bukan karena yang lama lebih nyaman, tapi lebih kepada, yang baru belum memberikan ruang untuk saya tempati. Saat itu, hanya ada dua pilihan, memaksa maju, atau diam kemudian kembali?

Kau, pernahkah seperti ini?

Akhir-akhir ini, setelah rasanya segalanya telah saya coba, saya seperti melupakan satu hal. Tuhan.

Bukannya tidak pernah, mungkin hanya caranya yang kurang tepat. Namun kali ini, dengan mendengarkan bisikan hati terdalam, saya mendapati jawabannya. Percayalah, di detik-detik menjelang pagi, adalah waktu terbaik untuk segalanya. Segalanya, saat di lepaskan di hadapan-Nya, segalanya, saat di serahkan kepada-Nya.

Percayalah, saya baik-baik saja, bahkan lebih baik setelah semua ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar