Minggu, 06 Desember 2015

Cinta buta? Baru sadar? Enggak apa-apa daripada enggak pernah sadar.

gambar dari sini
Jika bisa, saya sungguh ingin bertemu dengan Fatimah az Zahra, anak baginda Rasulullah SAW lalu bertanya ‘bagimana caranya menyembunyikan cinta dengan ukuran yang besar dalam kurun waktu yang lama, cinta yang bahkan setan pun tidak mengetahuinya. Bagaimana bisa?’

Sewaktu SMA, lebih dari sekali saya berpacaran, lebih dari sekali pula saya menangis tersedu-sedu atau bahagia sebahagia-bahagianya. Lalu semua seolah tak ada artinya ketika masanya telah habis. Ya, benar apa yang dibilang Radityadika, bahwa cinta bisa kedaluarsa. Saya mengalaminya. Jatuh cinta, patah hati, jatuh cinta lagi dan patah hati lagi. Sampai pada satu titik, saya merasa berada di sebuah ujung, ujung untuk berani memutuskan, memutuskan untuk berhenti jatuh cinta.


Mungkin, dikecewakan adalah fase yang membuat seseorang berubah. Pilihannya ada; menjadi lebih baik atau sebaliknya, menjadi lebih dewasa atau sebaliknya, dan menjadi lebih kuat atau sebaliknya. Saat itu, saya dikecewakan, kepercayaan yang saya berikan dikhianati, saya yang baru lulus SMA merasa tidak terima dengan rasa sakit yang di goreskannya dihati, saya─yang dulu─melakukan segala cara untuk membalas sakit hati itu. Bergonta-ganti teman jalan yang notabennya teman kampus si dia, update status yang menyudutkan di media sosial, atau berpura-pura bahagia padahal sebenarnya hancur. Ya, saya pernah berada di posisi itu dan melakukan semua itu. Pernah. Sampai sebuah pertanyaan ‘UNTUK APA?’ keluar dan terdengar dari diri saya sendiri.

Percayalah, tidak ada teman terbaik selain diri kita sendiri. Tidak ada jawaban terbaik selain jawaban dari hati kecil diri sendiri.

Saya meninggalkan semuanya, menjauh sementara dari media sosial, berhenti berhubungan dengan para lelaki pelarian itu dan mulai mendengarkan apa yang di inginkan hati. Pelan-pelan saya berproses, pelan-pelan saya menerima, pelan-pelan saya berpindah dan pelan-pelan saya kembali pulih, bahkan lebih baik.

Namun jika saya ulangi keputusan saya untuk berhenti jatuh cinta, saya melanggarnya, karena ternyata saya jatuh cinta lagi. Setelah bertahun hati saya tidak pernah berdesir, seolah damai dalam keistiqomahan, cinta kembali mengusiknya. Virus merah jambu itu menyerang saya seketika, bahkan dalam hitungan detik yang sebelum saya berkedip, ia lebih dulu menguasai.  Tidak berbeda, karena pelakunya tetap saya. Namun setan membisikan cara lain kepada saya untuk menyambut cinta itu. Perasaan itu menjelma dengan sangat lembut, bersembunyi di balik kalimat ‘cinta dalam diam’, itu awalnya, karena setelahnya, semua orang mengetahui cinta itu, bukan hanya setan, tapi semua.

Pelan-pelan, hati yang awalnya damai mulai lancang dengan harapan-harapan. Pertanyaan-pertanyaan dan terka-menerka. Dalam lingkaran kedok ‘cinta dalam diam’ saya merayap, melakukan banyak cara agar seseorang itu paham apa yang saya rasakan. Di sekeliling saya ada cinta-cinta yang lain, namun hati saya penuh terisi dengan cinta dalam diam itu. Sungguh, saya sudah berada di kategori ‘menikmati’. Jatuh cinta dengan seseorang yang sama sekali tidak saya kenali. Hati ‘jahat’ saya membela “enggak apa-apa, kan, enggak pacaran. Enggak apa-apa, kan, enggak ketemuan. Enggak apa-apa, kan, enggak komunikasi.” Iya enggak apa-apa, tapi menjadi apa-apa ketika semua orang tahu perasaan saya, menjadi apa-apa ketika hati saya tidak lagi mampu terkontrol, dan menjadi apa-apa saat kelak kenyataan berkata bahwa ia bukanlah jodoh saya.

Cukup lama saya ‘menikmatinya’, sampai satu hari, saya kembali teringat pada Putri Rasulullah, bagaimana Beliau begitu rapi menyimpan cinta yang dirasakannya, namun berujung pada orang yang dicintainya, Ali bin Abi Thalib yang kemudian menjadi suaminya, laki-laki yang juga dengan begitu kuat menahan cintanya. Rasa malu menjalari segenap diri saya. Apakah saya terlambat? Apakah masih bisa saya melangkah mudur dengan cinta yang sudah segitu luasnya terdengar? Apakah masih ada kesempatan bagi saya untuk menata hati?

Saya tidak tahu jawabannya. Namun percayalah, saya sedang berusaha untuk memperbaiki segalanya. Dan untuk menjadi lebih baik, tidak pernah ada keterlambatan, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar