Kamis, 14 Juli 2011

novel


DENGAN ISLAM
AKU TENANG

SATU
Kurasa ini terlalu sulit, kadang aku berfikir tentang salahku namun semua hanya menambah beban pikiranku. Tuhan .. apa yang harus aku lakukan, aku tak ingin meninggalkan dunia ini karena sudah berkali – kali aku mencobanya dan berkali – kali pula Kau menggagalkannya. Kini aku mengerti maksudMu, bahwa Kau ingin membiarkanku tetap hidup. Usiaku masih 17 tahun, tapi beban hidupku begitu berat. Hari ini tepat tiga tahun hubunganku dengan Morgan Sinaga, aku pikir ia akan selalu ada untukku dan akan menjadi orang yang selalu menyayangiku tapi ternyata salah, tahun ketiga hubungan kita ia bahkan memutuskan ku di saat aku sangat membutuhkannya. Bukan hanya itu, ia pun berselingkuh dengan Mishel sewaktu masih menjadi pacarku. Mamah, papah aku sangat merindukan kalian. Calista namaku, saat ini aku duduk di kelas tiga SMA, orang tuaku sudah meninggal lima bulan lalu. Ayah meninggal terkena serangan jantung saat mengetahui bahwa perusahaannya bangkrut, sedangkan ibu meninggal karena merasa tidak kuat harus hidup susah dan sering sakit – sakitan. Ironisnya aku memiliki keluarga besar yang kaya raya, akan tetapi mereka sibuk dengan urusannya masing – masing hingga lupa dengan adanya aku dan adikku yang malang. Kini aku dan adikku bertahan hidup di sebuah rumah sederhana yang di beli mamah saat masih hidup. Aku bekerja dengan penuh semangat untuk bertahan hidup, sepulang sekolah aku menjaga warnet hingga petang, malamnya aku menjadi pelayan cafe dan pulang sangat larut. Aku adalah sosok yang sangat lemah, berkali – kali mencoba bunuh diri akan tetapi berkali – kali pula aku gagal. Aku harus hidup, aku harus hidup untuk adikku yang malang, untuk orang tuaku di surga dan untuk membuktikan kepada tante juga om ku bahwa aku bisa bertahan.
“kakak, besok datang ya kesekolahku. Ada rapat wali murid” pinta Bobi nama adikku yang malang.
“sayang, kamu belum tidur ? lihat sudah hampir pagi, tidur ya besok kakak janji akan datang ke sekolahmu” Ucapku pada malaikat kecilku, kekuatanku.
Tuhan .. beri aku kekuatan untuk bertahan, adikku masih terlalu kecil untuk mengerti semua ini, usianya baru 7 tahun dan saat ini ia masih kelas dua sekolah dasar.
Usai menungguku dan memintaku untuk datang ke sekolahnya esok hari, ia terlelap tidur. Hari – harinya begitu sepi, aku selalu menitipkannya pada bu Aisyah tetangga kami walaupun berbeda agama tapi ia sangat baik dan Bobi pun merasa senang dengannya.
            Pagi telah menyapa bersama tantangan yang akan ku hadapi, ku siapkan sepotong roti lengkap dengan selai cokelat di temani dengan segelas susu hangat untuk adikku tersayang.
“sayang, jam berapa pertemuan di sekolahnya ?” tanyaku lembut.
“jam 9 kak, nanti kakak tunggu saja di depan kelasku” jelasnya sambil terus menyantap roti di tangannya.
“baiklah, kakak akan kesana nanti. Bobi tunggu ya” yakinku.
“iya kak, janji ya” pintanya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil memberinya senyum.
Mobil jemputan Bobi sudah tiba, saatnya ia ke sekolah. Aku pun bergegas merapikan rumah dan langsung berangkat kesekolah. Aku tak punya cukup uang untuk membayar taksi, hanya metromini yang menjadi kendaraanku selama ini. Betapa sakit hatiku melihat Morgan bersama Mishel, rasanya ingin ku tampar wajah mereka karena mungkin dengan itu akan dapat mengurangi beban yang selama ini ada di hidupku. Tapi tidak, untuk apa ?? Calista .. no .. no ..
Aku masuk ke dalam kelas dan mulai membuka buku, bel telah berbunyi tanda pelajaran akan di mulai. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul delapan tiga puluh, aku bergegas ke ruang guru dan minta izin untuk meninggalkan sekolah.
“kali ini saja bu, saya janji ini untuk yang pertama dan terakhir” rengekku pada bu Diana guru BP di sekolahku.
“tapi kamu sudah kelas 3 Cal, sebentar lagi akan ujian nanti bisa ketinggalan pelajaran” nasehatnya.
“tapi bu, tolong pahami keadaan saya. Saya tidak mungkin mengecewakan adik saya untuk kesekian kalinya, dan saya tidak akan membiarkan ia menunggu. Tolong bu” ibaku.
“Calista .., kamu sungguh membuatku terharu, baiklah tapi untuk kali ini saja” izinnya.
“terima kasih bu” ucapku dan meninggalkan bu Diana.
Aku kembali ke kelas untuk mengambil tas dan memberikan surat keterangan untuk tidak mengikuti pelajaran kepada Rio ketua kelasku.
(oh Tuhan .. apa lagi ini ? waktunya tiga puluh menit lagi) ucapku dalam hati ketika melihat Mishel dan dua orang temannya di hadapanku.
“sorry, aku tidak ada waktu” jelasku.
“aw ..” teriakku saat Mishel menyandung kaki ku.
“mau kamu apa ? aku lagi buru – buru, PAHAM ?” bentakku.
“aku hanya ingin kamu menjauhi Morgan, cewek murahan” katanya sambil mendorong tubuhku ke tembok.
Apa ? dia bilang aku cewek murahan ? emosiku semakin naik, (maafkan kakak .. Bobi) dan ‘plak’ mungkin itu memang cara yang tepat untuk menghadapi wanita seperti Mishel. Aku menamparnya dan bergegas pergi meninggalkannya. Tinggal dua puluh menit lagi, aku memilih ojeg agar bisa lebih cepat sampai di sekolah Bobi.
Tepat jam sembilan kurang lima menit aku sampai di sekolah Bobi, ia menungguku dengan sabar di depan kelasnya. Dengan senyum lebar ia menyambutku.
“kakak ..” panggilnya.
“ayo kak, yang lainnya sudah berkumpul” tambahnya sambil menarik tanganku.
Bobi, betapa polosnya anak ini. Tuhan .. sekali lagi aku mohon beri aku kekuatan untuk terus bertahan. Ku lihat sekitar ruangan penuh dengan ibu – ibu dan bapak – bapak wali murid.
“Bobi, mamah dan papahmu kemana ?” tanya seorang anak yang menghampiri kami.
“mamah dan papah ku sudah di surga” jawab Bobi polos.
“aku hanya punya kak Calista” tambahnya.
“kasihan ya kamu tidak memiliki mamah papah” ejek temannya.
“tidak masalah, aku punya kak Cal yang sayang sama aku, mamah kamu bisa bikin nasi goreng sosis yang enak gak ? nasi goreng buatan kakaku sangat enak, dan aku tidak pernah merasa kesepian” ucapnya.
Betapa tegar adikku, usianya yang masih sangat kecil sudah membuatnya dewasa karena keadaan.
“tapi kamu tidak bisa pergi piknik bersama papah mu, dan kalau mau mandi tidak ada yang menggosok punggungmu. Mamah ku selalu menggosok punggungku saat mandi” kata salah seorang teman Bobi.
Aku, apa aku harus marah dengan anak yang belum mengerti dengan keadaan ? tidak .. tidak Calista.
“tapi aku punya kak Cal, dan aku sangat menyayanginya” ucapnya langsung memelukku.
Entah apa yang ia rasakan, sedih mungkin karena aku dapat melihat dari tatapan matanya. Ku peluk erat tubuhnya yang begitu ringan dan ku cium keningnya seolah memberinya kekuatan, ia menatapku dan tersenyum. Senyumannya mengatakan kalau aku harus kuat karena ada dirinya yang membutuhkan dan sangat menyayangiku.

DUA
            Sepertinya Mishel tidak pernah puas menyakitiku, apa yang sebenarnya ia mau ? Morgan ? ia sudah mendapatkannya, lalu apa lagi ? apa yang ia inginkan dari diriku ? baru sejenak aku duduk, Mishel dan teman – temannya sudah menghampiriku.
“ada apa lagi ?” tanyaku.
Dan ‘plak’ ia menamparku, aku pun membalasnya dan kami berkelahi. Aku sudah cukup sabar menghadapinya, walaupun sebenarnya aku adalah orang yang emosian dan mudah sekali marah. Tapi aku coba untuk mengalah, tiga bulan lagi sudah mulai ujian. Rasanya ingin sekali aku cepat – cepat lulus dan keluar dari sekolah ini, serta lenyap dari pandangan Mishel dan Morgan. Bu Diana datang, dan kami di bawa ke ruang BP. Kami pun di hukum keliling lapangan dan di beri surat peringatan. Aku tak ingin ada masalah dengannya, tapi kenapa dia selalu menggangguku. Malamnya, aku tidak masuk kerja karena tidak enak badan. Seperti merasakan apa yang ku rasakan, sepertinya ia mendengar panggilan hatiku, Morgan pun datang menjengukku, apa yang ada di otaknya ? belum cukupkah penderitaan yang ku rasakan karenanya.
“jangan terlalu lelah Cal, kamu harus banyak istirahat” pesannya.
“peduli apa ? belum cukup kamu buat aku sakit ? ini belum seberapa Mor dari apa yang hati aku rasain” jelasku.
“mungkin telat kalau aku jelasin sekarang, tapi lebih baik daripada tidak sama sekali. Mungkin iya aku jadian sama Mishel, mungkin iya dia miliki aku tapi tidak untuk hatiku Cal, sampai kapan pun hatiku hanya memilihmu, dan harus kamu tahu kalau kamu tidak akan pernah tergantikan sampai kapan pun. Aku pacaran dengan Mishel terpaksa, demi mamah papah ku yang perusahaannya bergantung sama keluarga Mishel. Cobalah mengerti aku Cal, batin aku tersiksa” ceritanya.
“aku manusia biasa, dan aku punya batas kesanggupan dan aku rasa saat ini adalah titik batas kesanggupanku. Jujur, aku masih sayang sama kamu tapi tidak untuk kembali, cobalah mencintai Mishel dan lupakan aku” ucapku.
“kamu pikir kita jadian cuma dalam hitungan hari ? tidak Cal, tiga tahun kita sama – sama, apa kamu mau nyerah ?” katanya meyakinkan ku.
“nyerah kamu bilang ? siapa yang nyerah ? aku pikir kamu lebih tahu seperti apa rasa sayang aku terhadap kamu, sejauh mana pengorbanan aku untuk hubungan kita, dan sekuat apa aku bertahan untuk kamu, tapi tidak untuk sekarang dan selamanya” tegasku.
“baiklah, boleh aku memelukmu untuk terakhir kalinya” pintanya. Aku mengangguk mengiyakan, ku rasakan begitu nyaman di pelukkannya ( no Calista no .. ) ucapku dalam hati. Usai memelukku ia pun pulang.
Pagi telah menyapaku kembali, kejadian semalam bagai mimpi. Mimpi yang tak akan pernah aku lupakan, mimpi sebagai desiran yang menghapus kerinduanku pada Morgan. Setelah sarapan, aku dan Bobi berangkat ke sekolah. Aku sangat berharap, semua akan baik – baik saja bahkan lebih baik dari hari kemarin.
Entah apa yang terjadi, semua siswa di perintahkan untuk berkumpul di lapangan. Untuk upacara mungkin, tapi hari ini bukan hari senin ataupun hari kemerdekaan, lalu untuk apa kita berkumpul di lapangan ? Ku lihat, bendera setengah tiang. Ada apa ini ? hatiku bertanya – tanya. Ku lihat semakin dekat ke arah tiang, oh Tuhan .. foto Morgan, apa artinya ini ? ada apa dengan Morgan ? bukankah dia baik – baik saja semalam. Tapi tidak, ternyata Morgan telah meninggal, ia bunuh diri.
“MORGAN ....”
            Ku buka dan ku baca surat pemberian Angel, kakak Morgan.
Calista my princes,
Tak banyak yang ingin ku ucapkan, hanya maaf karena telah menyakiti hatimu. Tapi demi Tuhan Cal, aku lebih sakit bahkan sangat sakit karena harus kehilangan dirimu, hanya kamu yang bisa mengerti aku, yang bisa membuatku tertawa lepas, yang bisa membuatku nyaman, yang bisa membuatku selalu tersenyum, dan yang pasti hanya kamu yang tulus sayang padaku apa adanya. Di sisimu, aku bisa jadi Morgan, Morgan tanpa Sinaga. Di sisimu, aku bisa tenang, aku bisa nikmatin kehidupan, aku bisa ngerasain sayang dan cinta. kamu segalanya untukku. aku selalu coba untuk buang perasaan ini, tapi aku tidak bisa, tak mampu, aku tak sanggup dan sungguh aku tak akan pernah bisa membuang perasaan ini, sampai kapan pun aku tidak akan bisa. Aku mohon Cal, maafin aku, maafin aku  ..
Aku coba menahannya, tapi air mataku tetap terjatuh. Aku sangat tidak percaya kalau Morgan bisa melakukan hal bodoh ini, hal yang selalu gagal aku lakukan.

TIGA
            Sepeninggal Morgan, semua keluarganya begitupun teman – teman di sekolah terutama Mishel terus saja menyalahkanku. Aku juga merasa kehilangan, sangat kehilangan. Semangat hidupku berkurang, aku memang merasa bersalah tapi demi Tuhan bahwa tidak terbesit sedikit pun di pikiranku kalau Morgan akan melakukan hal itu. Hanya gereja, tempat yang dapat membuatku tenang saat ini.
Tuhan .. tolong beri aku kekuatan, mengapa Kau beri aku cobaan yang sepertinya aku tidak kuat menahannya ? aku tidak pernah menginginkan apa yang menjadi milik orang lain, aku selalu berusaha kuat Tuhan.
Tapi mengapa Kau beri aku cobaan ini ? apa yang harus ku perbuat ? tolong aku. Tolong aku. Aku melangkah meninggalkan gereja dengan tertatih, pikiranku hanya tentang Morgan, aku merasa tidak dapat mengendalikan bahkan mengenali diriku sendiri. Aku terus melangkah dan masuk ke dalam bus. Air mata penyesalan terus menetes di pipiku, andai saja aku menerima Morgan kembali kepadaku mungkin semua tidak akan menjadi seperti ini. Andai saja Morgan tak pernah datang malam itu, andai saja ..
“de .. ade bangun de” kata kondektur bus membangunkanku.
“ya Tuhan .. dimana aku ?” kagetku.
“kamu di Semarang” jelas kondektur.
“apa ? Semarang ?” kataku dengan nada tinggi.
Semarang ? apa yang terjadi dengan diriku ? malam kian larut, aku tidak memiliki uang sama sekali, aku pun tidak mengenal seorang pun di sini. Kini, ku berada di tengah – tengah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai  yang ku pikir sekali aku jatuhkan tubuhku maka aku akan lelap tertidur untuk selamanya, tak ada lagi Morgan, tak ada lagi beban hidupku yang begitu berat, tak ada lagi caci maki orang di sekitarku, tak ada lagi hinaan polos dari teman – teman Bobi, tak ada lagi, dan tak pernah ada lagi. Selamat tinggal semua beban hidupku ..
“astaghfirullah al adzim” ucap seseorang yang dengan sigap menarik tubuhku.
“biarikan aku mati .. aku mau mati ..” histerisku.
“aku mau mati .. aku mau .. mati .. aku ... ku ...” suaraku melemah.
Saat aku tersadar, entah dimana aku. Ku dengar suara yang tak pernah ku dengar sebelumnya. Ku pandangi sekitar ruangan, terasa begitu damai dan tentram. Seseorang datang menghampiriku sambil membawa makanan.
“assalammualaikum” ucapnya.
Aku terdiam mendengarnya, dia seorang muslimah. Begitu anggun menggunakan busana seperti yang biasa di pakai oleh bu Aisyah.
“aku .. dimana aku ?” tanyaku.
“kamu di pondok pesantren Hikmah tul karim di Semarang, semalam kamu pingsan dan ustad Bumi yang membawamu ke sini, boleh saya tahu namamu ?” jelasnya.
“namaku Calista, dan aku Kristiani” kataku menjelaskan.
“oh maaf dek, saya tidak tahu kalau kamu non muslim, saya Husna kamu bisa panggil saya mba Us. Silakan di makan, makanannya. Saya akan memanggil ustad Bumi” katanya dan meninggalkan ku sambil tersenyum lembut. Ku pandangi terus makanan itu, untuk apa aku makan ? bukankah aku ingin bunuh diri ? biarkan saja aku kelaparan dan mati. Beberapa menit kemudian, mba Us datang bersama seorang pemuda yang sangat tampan, tubuhnya tidak terlalu pendek dan tidak terlalu tinggi, hidungnya mancung, bibirnya tipis, tidak gemuk ataupun kurus, matanya begitu hangat untuk di pandang dengan kedua alis lebat yang hampir menyatu, wajahnya sangat tenang dan berwibawa.
“bagaimana keadaanmu ?” sapanya.
Mungkin dia telah mengetahui bahwa aku seorang Kristiani oleh karena itu ia tidak memberi salam seperti yang di lakukan mba Us di awal tadi. Aku terus terdiam tak menghiraukannya.
“mungkin saya lancang karena mencegahmu semalam, saya minta maaf” tambahnya.
“aku mau mati .. aku mau mati ..” histerisku.
“astaghfirullah” ucap mereka bersamaan.
“mba Us, biarkan aku dengannya. Insya Allah aku bisa berbicara dengannya” katanya kepada wanita yang rasanya lebih tua darinya. Wanita itu pun keluar, kini hanya aku dengannya. Tatapannya begitu hangat, pembawaannya sangat tenang.
“boleh saya tahu alasan kamu ingin meninggalkan dunia ini ?” tanyanya.
Bibirku seolah ingin mengeluarkan semua beban yang ku tahan selama ini, memandang matanya yang begitu hangat dan penuh ketenangan membuatku merasa nyaman.
“aku .. aku ingin mati, beban hidupku terlalu berat” kataku mulai bercerita.
“apa dengan kematian semua beban hidupmu akan hilang ?”
“tentu, karena aku telah mati dan tidak mungkin orang yang sudah mati akan mempunyai beban hidup lagi” jawabku meyakinkan.
“apa kamu mempunyai penyakit ?” tanyanya aneh.
Aku menggelengkan kepala lemah.
“apa kamu tidak memiliki tempat tinggal ?” tanyanya lagi.
Hal yang sama pun aku lakukan, ku gelengkan kepalaku lagi.
“apa kamu masih punya keluarga ?” tanyanya.
“aku masih mempunyai satu orang adik yang sangat ku sayangi” jawabku.
Air mataku mulai menetes karena teringat Bobi, sedang apa ia ? apa ia baik – baik saja ? apa ia sudah makan ? apa teman – temannya mengejeknya lagi. Oh Tuhan .. jagalah ia selalu.
“kamu sehat tidak sakit, kamu memiliki tempat tinggal dan kamu masih memiliki seseorang untuk di sayangi, lalu untuk apa kamu mati ? saya rasa agama mana pun melarang umatnya untuk menyakiti dirinya sendiri terlebih sampai bunuh diri, lihat ke luar masih banyak yang lebih menderita dari kamu, mereka yang sakit tapi tetap bertahan hidup dengan obat – obatan yang menemaninya setiap hari, mereka yang tidak memiliki tempat tinggal tetap berusaha untuk mendapatkan makan meskipun harus tidur di kolong jembatan terkena hujan dan terik matahari, mereka yang hidup sebatang kara tidak memiliki keluarga tetap ingin menjalani hidup dengan harapan akan mendapatkan kebahagiaan kelak. Hidup ini memang keras Nona, tapi sayangnya kita sudah terlanjur hidup dan harus menghadapi apa yang harus kita hadapi, harus menjalani apa yang harus di jalani, lihat ke depan kalau kamu ingin bertahan, jangan lihat ke belakang kalau hanya membuatmu putus asa, apa dengan menyesali dan meratapi semua akan kembali ? tentu tidak Nona. Hidup adalah pilihan, pilihan yang pastinya mempunyai resiko yang akan kita terima. Saat kita memilih kebaikan maka kita akan mendapatkan kebaikan, dengan usaha tentunya. Begitu juga sebaliknya kalau kita memilih suatu yang salah maka penyesalan yang akan kita dapatkan. Kita memiliki hati, hati yang menjadi raja dalam diri kita, ikutilah kata hatimu maka kamu akan merasa lebih baik” nasehatnya begitu lembut.
“apa aku boleh tetap di sini untuk beberapa waktu ?” pintaku.
“tentu, makanlah makanan ini agar kamu tetap sehat” perintahnya.
Iyah .. aku harus tetap hidup, harus. Ku santap makanan yang ada di hadapanku dengan begitu lahap.
“ustad, terima kasih ya” ucapku.
“sama – sama Nona” katanya sambil tersenyum.
“jangan panggil Nona, panggil saja Calista” pintaku.
“baiklah Calista, kalau begitu istirahatlah saya ingin ke masjid untuk sholat dzuhur, kalau perlu apa – apa panggil saja saya, atau kakak saya mba Us” pesannya begitu sopan.
“baik ustad” kataku dan melanjutkan menyantap makanan di tanganku.
Ustad Bumi namanya, ia meninggalkan ku dan keluar untuk beribadah.
            Di dalam kamar yang ku tempati ku lihat sebuah lemari dan membukanya, aku berharap ada pakaian yang bisa ku kenakan karena aku masih mengenakan seragam sekolah. Tapi ternyata semua pakaian yang ada hanya pakaian muslimah, apa boleh aku mengambilnya ? apa pantas aku mengenkannya ? tak apalah ku ambil sebuah dari tumpukan pakaian di lemari dan aku mulai mencobanya, bahannya tidak panas dan terasa lembut. Aku seperti bu Aisyah, hanya saja kepalaku tidak di tutupi. Rasanya lelah sekali, ku baringkan tubuhku perlahan di tempat tidur. Aku teringat dengan nasehat ustad tadi, kita sudah terlanjur hidup dan harus menghadapi apa yang harus di hadapi. Memang benar, aku tak pernah meminta untuk di lahirkan dan hidup di dunia ini, tapi Tuhan telah mengatur semuanya hingga aku harus hidup dan menjalani apa yang harus ku jalani. Bijak sekali kata – kata yang keluar dari mulutnya, tapi sayang dia seorang muslim dan aku wanita kristiani. Apa mungkin aku boleh menyukainya ? astaga .. apa yang aku pikirkan. Melihatnya seolah memberikanku ketenangan dan mampu membuatku melupakan bayangan Morgan. Pandanganku mulai hilang dan mulai ku pejamkan mataku perlahan.
“astaga ..” kagetku saat terbangun dari tidur.
Ku lihat jarum jam telah menunjukkan jam dua malam, apa aku terlalu lelap tidur hingga tak terasa sudah selarut ini. Aku mendengar suara seseorang di luar, ku langkahkan kaki ku menghampiri suara itu. Ternyata ustad Bumi, sedang apa ia ? di sebuah bangunan yang lumayan besar, masjid mungkin nama bangunan ini, tempat ibadah umat islam. Ku dengarkan suaranya yang begitu merdu, entah mengapa hatiku bergetar mendengar suara itu. Padahal aku tidak sama sekali tahu dan mengerti apa yang ustad Bumi baca, tapi jujur aku belum pernah merasakan ketenangan seperti saat ini. Membuatku sangat tenang hingga mampu menusuk dan menggetarkan hatiku. Apa itu islam ? apa semua orang islam selalu tenang seperti ustad Bumi ? apa islam itu tidak memiliki beban seperti aku ? aku .. aduh .. kakiku tersandung pakaian yang ku kenakan, karena pakaian ini seperti jubah yang sangat besar dan menutupi semua tubuhku.
“siapa itu ?” teriak ustad Bumi.
(Astaga, ketahuan deh) ucapku dalam hati.
“ini aku ustad, Calista” kataku sambil masuk mendekati ustad Bumi.
“kamu toh, ada apa ? kenapa tidak tidur ?” tanyanya lembut dengan senyuman yang selalu mampir di bibirnya.
“aku sudah tidur dari siang ustad, ustad sedang apa ?” tanyaku sambil mendekat ke arahnya.
astaghfirullah, maaf Calis dalam agama saya tidak di perbolehkan seorang laki – laki berduaan dengan seorang wanita dalam satu ruangan karena yang ketiganya adalah setan dan akan menimbulkan fitnah walaupun kita berada di tempat ibadah” jelasnya.
“assalammualaikum, sekarang kita bertiga jadi tidak akan ada fitnah” ucap mba Us tersenyum sambil mendekat ke arah kami.
“wa alaikum salam mba, alhamdulillah mba datang. Memang tidak tidur mba ?” tanyanya.
“mba sudah bangun, usai sholat tahajud mba lihat Calista dari jendela kamar makanya mba kesini, mas mu juga tahu mba kesini” jelasnya.
“syukurlah kalau memang seperti itu” kata ustad Bumi tenang.
“kamu tidak tidur ndo ?” tanya mba Us kepadaku.
“aku sudah tidur sejak tadi mba” jawabku sopan.
“oh iya mba, aku minta maaf karena memakai pakaian ini tanpa izin terlebih dahulu” tambahku.
“tidak apa – apa kalau kamu merasa nyaman mengenakan pakaian itu” katanya sambil tersenyum.
“ustad, ada yang ingin aku tanyakan pada ustad. Bolehkah aku bertanya ?” kataku berharap.
“tentu, apa yang ingin kamu tanyakan ? saya akan menjawab kalau saya memang bisa menjawabnya” katanya masih dengan senyum yang selalu menemani bibirnya yang tipis.
“apa itu islam ustad ? apa dalam islam tak ada masalah ? tak ada beban seperti yang ku hadapi ? mengapa ustad, mba Us dan semua orang yang berada di sini terlihat begitu tenang dalam menjalani hidup ?” tanyaku penasaran.
“sebelum saya jawab pertanyaan kamu, boleh saya bertanya apa itu kristen ?” tanyanya.
“kristen itu agamaku” jawabku singkat.
“apa kamu mendapatkan ketenangan dalam agamamu ?” tanyanya lagi.
“terkadang iya, tapi terkadang pula tidak” jelasku.
“baiklah, islam menurut bahasa adalah agama. Tapi islam menurut saya adalah kebahagiaan, kebahagiaan yang tidak dapat di ungkapkan dengan kata – kata, kebahagiaan karena saya mencintai Tuhan saya, islam juga ketenangan, ketenangan yang sangat luar biasa. Dengannya (islam) saya hidup. Tepat kalau kamu bilang islam tak ada masalah, benar kalau kamu bilang islam tidak memiliki beban hidup, karena islam adalah agama bukan individu. Akan tetapi individu atau orang – orang yang memeluk islam sebagai agamanya pasti memiliki masalah, memiliki beban hidup. Setiap orang yang hidup di dunia mempunyai masalahnya masing – masing, akan tetapi mereka pun mempunyai cara untuk menghadapi masalah tersebut, apa dan bagaimana mengahadapinya. Baik agama mereka islam, kristen, hindu, budha ataupun agama lainnya. Masalah akan selalu ada selama kita masih hidup, saat terselesaikan masalah yang satu maka masalah yang lain sudah mengantri untuk menggantikan masalah yang terselesaikan, berdoa dan terus berusaha itulah hal yang harus kita lakukan, bukan lari dari masalah, bukan membiarkannya dan bukan pula membesar – besarkannya. Coba kamu tanya satu per satu orang yang berada dalam suatu kereta api apakah mereka tidak memiliki masalah ? kalau memang ada orang yang tidak memiliki masalah, maka bawalah ke hadapan saya. Manusia adalah tempatnya salah, tak ada satu orang pun yang seratus persen baik begitu pula sebaliknya tak ada orang yang seratus persen buruk. Sebaik – baiknya seseorang pasti ada sisi buruknya, dan seburuk – buruknya seseorang pasti ada sisi baiknya. Semua tergantung pada diri kita, apakah kita mau belajar untuk menjadi lebih baik atau mau berdiam tanpa melakukan perubahan. Kembali lagi pada ucapan saya tadi siang, bahwa hidup adalah pilihan” jelasnya panjang lebar.
Aku hanya tersenyum mengerti, penjelasan ustad Bumi sangat mengagumkanku.
“kalau begitu, kembalilah ke kamarmu dan tidurlah” perintahnya.
“biar mba Us yang mengantarmu” tambahnya.
Aku pun menurutinya, dan pergi bersama mba Us meninggalkan ustad Bumi.
“mba, apa ustad Bumi memiliki kekasih ?” tanyaku malu.
“tentu” jawab mba Us singkat.
“pasti cantik dan sangat baik ya mba” tebakku.
“ya” singkatnya.
“siapa mba ?” penasaranku.
“Allah, Bumi tidak memiliki seorang kekasih ataupun pacar. Allah lah kekasih hatinya” jelasnya.
Aku tersenyum tenang, sebesar itukah ia mencintai Tuhannya.

EMPAT
            Sungguh tidak terasa sudah hampir satu minggu aku di sini, aku seperti hidup kembali. Ustad Bumilah orang yang membuatku sangat bersemangat dalam menjalani hidup. Meski aku adalah seorang kristiani namun ia sangat menghormatiku dan melayaniku layaknya seorang tamu. Begitu juga para santri yang menemani hari – hariku, sangat sopan dan bersifat kekeluargaan.
“cal, aku mau tanya sama kamu. Tuhan kamu sudah mati kan ?” tanya Halimah salah seorang santri ustad Bumi.
“kenapa sih, kamu dan umat kristiani menyembah manusia ? padahal Ia sama seperti kita, Ia makan dan minum, Ia pun tidur. Lalu apa Ia mampu mengawasi kita selama dua puluh empat jam sedangkan Ia hanya manusia biasa” tambah santriwati lainnya.
“aku pun tidak mengerti, sejak lahir yang aku tahu aku adalah seorang kristiani. Dan aku menyembah serta meminta kepada Yesus Tuhan kami. Memang siapa Tuhan kalian ? apa Tuhan kalian selalu ada untuk kalian ?” tanyaku ingin tahu.
“Allah, Allah adalah Tuhan kami. Tentu, setiap detik ia selalu dalam kesibukan. Allah tidak pernah makan dan minum, Allah pun tidak pernah lelah mengurus dunia beserta isinya. Di dalam Alquran pun jelas bahwa Islam adalah agama yang benar, lagi pula Tuhan yang kamu sembah adalah nabi Isa As anak dari Maryam yang tidak memiliki seorang suami, namun para kaum kristiani salah beranggapan. Mereka menganggap kalau Allah adalah bapa dari nabi Isa putra Maryam, sebenarnya Maryam adalah wanita solihah yang mendapatkan ujian dari Allah karena ketaqwaan serta kecintaannya terhadap Allah” jelas Halimah.
“maaf ya Cal” tambahnya.
Aku tersenyum bingung. Aku tidak dapat berkata apapun, karena aku sendiri masih ragu dengan agamaku. Yang aku tahu, aku adalah seorang kristiani yang setiap minggu harus ke gereja untuk melakukan sembahyang dan pengakuan dosa di depan Tuhan Yesus. Seperti ada yang mengganjal di hatiku. Malam kian larut, mataku pun tak dapat ku pejamkan. Seminggu berada di sini sungguh membuatku tenang, sangat berbeda dengan kehidupanku di Jakarta. Ku bangkitkan tubuhku dan menemui ustad Bumi.
“ustad, aku ingin masuk islam” yakinku.
Semua orang yang berada di dalam masjid terlihat kaget dan melihat ke arahku
alhamdulillah” ucap semua bersamaan.
“apa kamu yakin Calista ?” tanya ustad Bumi.
“iya ustad, aku yakin dan tak ada paksaan” kataku yakin.
Sejujurnya, aku tak mengerti apa yang ada di benakku. Tapi ini adalah keinginan hatiku yang sangat dalam, aku ingin mengenal Islam aku ingin mengenal Allah Tuhan mereka.
“baiklah, semua yang ada di sini menjadi saksi hidup akan pernyataan Calista. Ia ingin memeluk islam bukan karena paksaan atau alasan apapun tapi karena keinginannya sendiri. Ikuti apa yang akan saya ucapkan, asy .. hadu an .. laa .. ilaaha .. ill .. allaah, wa asy .. hadu anna .. muhammadar .. rasuulullaah” ucapnya perlahan.
Aku pun mengikutinya dengan benar dan yakin.
alhamdulillah, kamu menjadi seorang muslimah Calista” ucap ustad Bumi.
Kini aku telah menjadi seorang muslimah dan kini aku mengenakan pakaian seperti yang di kenakan bu Aisyah. Karena dalam Islam di wajibkan menutup aurat. Hatiku mulai terasa tenang, walaupun tujuan utamaku adalah agar dapat dekat dengan ustad Bumi tapi aku tak pernah menyesali keputusanku. Aku mulai mengenal agama yang kebanyakan orang Amerika menyebutnya agama teroris, islam tentunya. Islam begitu indah, tidak rumit dan sangat sederhana. Aku senang saat belajar sholat, dan membaca – bacaan yang biasa di baca ketika sholat. Semua arti bacaan tersebut pun sangat baik, hampir semua artinya mengagungkan nama Allah dan meminta kebaikan untuk diri kita sendiri. Ternyata aku baru merasakan apa yang di ucapkan ustad Bumi, bahwa islam adalah kebahagiaan. Akan tetapi aku tidak merasa rugi karena aku pernah menjadi seorang Kristiani, karena aku masih memiliki kesempatan untuk mengenal islam sebelum aku meninggalkan dunia ini. Aku selalu teringat Bobi, aku ingin menagajarkan islam kepadanya. Aku harus kembali, kembali ke kehidupanku, bersekolah dan bekerja serta merawat Bobi. Ia pasti sangat merindukanku.
 Aku pun harus menamatkan sekolahku terlebih dahulu agar aku bisa lebih baik, dan semoga saja aku bisa masuk keperguruan tinggi hingga menjadi seorang sarjana. Tapi itu tidak terlalu penting untukku, karena Allah pasti mempunyai rencana di balik semua ini.
Tepat dua minggu aku tinggal dan belajar di pondok pesantren Hikmah tul karim dan sudah saatnya aku kembali, kembali menjadi siswa SMA Strada dan melakukan rutinitas ku seperti biasa. Ujian pun tinggal dua bulan lagi. Aku memang belum bisa apa pun tentang islam, pengetahuanku masih sangat minim akan tetapi insya Allah aku telah memahami dasar – dasar islam. Yakni enam rukun iman dan lima rukun islam. Meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan merealisasikannya ke dalam perbuatan itulah iman yang sesungguhnya. Usai sholat subuh, ustad Bumi mengantarku kembali ke Jakarta. Aku sangat senang ketika bersamanya, ia adalah sosok yang membawaku mengenal islam dan mencintai Allah. Bumi al Kahfi lengkapnya, akankah ia yang menjadi suamiku kelak ? ya Allah .. salahkah aku jika berharap akan hal itu ? ampuni aku ya Allah.
“kak Cal ..” teriak Bobi saat melihat kedatanganku.
Ia berlari dan mendekap erat tubuhku, ia tetap mengenaliku meskipun dengan pakaian yang berbeda. Bu Aisyah dan pak Rasyid pasangan suami istri yang belum di karuniai seorang anak dan telah menjadi kerabat terdekatku selama ini terkejut melihat penampilanku.
“bule ? pak le ?” sapa ustad Bumi pada sepasang suami istri tersebut.
Astaghfirullah, ternyata bu Aisyah dan pak Rasyid adalah saudara ustad Bumi. Pak Rasyid adalah adik dari mendiang ayahnya ustad Bumi, sungguh dunia memang terasa sempit sekali. Aku dan ustad Bumi pun mulai bercerita tentang apa yang terjadi, mengapa kami bisa bertemu hingga aku telah menjadi seorang muslimah. Bu Aisyah sangat terharu mendengar cerita kami hingga ia tak kuasa menahan air mata yang jatuh di pipinya. Ia pun berjanji akan terus membimbing aku untuk lebih mengenal islam. Bobi yang tidak mengerti apapun hanya terdiam sambil terus memeluk tubuhku. Saat itu pula aku meminta ustad Bumi dan pak Rasyid serta bu Aisyah untuk membimbing Bobi membaca dua kalimat syahadat dan memeluk islam. Agama yang ku pilih saat ini dan selamanya. Ustad Bumi memutuskan untuk menginap semalam di rumah bu Aisyah, dan ia harus kembali esok subuh. Aku sangat berhutang budi pada bu Aisyah dan pak Rasyid karena mereka telah sangat sabar dan baik merawat adikku tersayang. Bobi, maafkan kakak. Batinku sangat terharu ketika Bobi memintaku untuk berjanji tidak akan meninggalkannya lagi, bahkan ia bilang kalau kakak mau mati ajaklah aku kak. Ya Allah, ia masih sangat polos untuk memaknai kehidupan. Mamah, papah maafkanlah aku karena lalai menjaga Bobi. Sekarang aku telah memeluk islam karena aku merasakan ketenangan yang sangat luar biasa setelah mengenal Agama Allah ini.

LIMA
            Ustad Bumi telah kembali ke pesantren, aku pun melakukan rutinitas seperti biasa. Semua yang kubayangkan pun terjadi, guru - guru melarangku untuk masuk sekolah. Karena sekolahku memang sekolah kristen. Semua mata memandang hina ke arahku, aku terus berjalan ke ruang kepala sekolah.
“selamat pagi pak, bu” sapaku pada bapak kepala sekolah beserta beberapa orang guru yang menungguku.
“pagi Calista” jawab semua bersamaan.
“langsung saja pada topik masalah kami, kami sungguh tidak dapat membiarkanmu bersekolah di sekolah ini, apa kata para orang tua murid ? apa penilaian masyarakat ? sekolah ini adalah sekolah kristen lalu bagaimana bisa ada siswa seorang muslimah” bingung pak Sirait kepala sekolahku.
“siapa yang memaksamu menjadi seorang muslim wahai anakku?” tanya bu Berta lembut.
“sebelumnya saya ingin meminta maaf pada bapak dan ibu guru sekalian, saya masuk islam sama sekali tidak ada paksaan dari siapa pun, ini murni keinginan saya. Tadinya saya ingin pindah ke sekolah lain, namun ujian sebentar lagi jadi saya pikir lebih baik saya selesaikan sekolah di sekolah ini. Saya mohon agar ibu dan bapak guru dapat mengizinkan, saya mohon” pintaku.
“tidak bisa Calis” tegas pak Sirait.
“berilah ia kesempatan pak, setidaknya hanya untuk mengikuti ujian selama satu minggu” pinta bu Diana membelaku.
“tapi bu” kata Pak Sirait bingung.
“saya mohon” ucap bu Diana lembut.
“saya setuju, biarlah ia mengikuti ujian di sini. Hanya ujian saja” kata bu Berta tegas.
“baiklah, kamu boleh mengikuti ujian di sekolah ini” setuju pak Sirait.
alhamdulillah, terima kasih pak, bu” ucapku senang.
Aku tak peduli dengan penilaian teman – temanku bahkan semua orang sekalipun karena bagiku tidak akan pernah ada yang merasakan apa yang aku rasakan dan tidak akan ada yang mengerti tentang apa yang ku alami. Saat ini aku hanya ingin bertahan untuk menjalani hidup. Kini aku tidak bekerja lagi di cafe karena pulang terlalu larut. Aku hanya bekerja menjaga warnet hingga petang dan pulangnya aku gunakan waktu untuk belajar serta merawat Bobi. Tentang Morgan dengan perlahan aku bisa melupakannya dan kini aku mulai mencintai ustad Bumi. Akan tetapi, sejak ia mengantarkan ku kembali ke Jakarta tak ada lagi kabar tentangnya, aku pun tak dapat lagi melihat matanya yang selalu membuatku tenang. Hari – hariku menjadi lebih baik sambil terus belajar mengenal islam bersama bu Aisyah dan pak Rasyid yang tak pernah lelah membimbingku. Tak ada lagi kesedihan dan air mata yang biasanya selalu menemani hariku. Bobi pun terlihat sangat bahagia, sejak pindah sekolah dan aku mendaftarkannya di sebuah pengajian. Ia mempunyai banyak teman yang mewarnai hari – harinya yang sepi. Aku, aku berencana untuk meneruskan kuliah setelah lulus nanti. Itu pun kalau memang ada biaya, tapi mungkin tertunda untuk beberapa waktu karena kuliah memerlukan tidak sedikit biaya.
            Sungguh waktu berlalu begitu cepat, ujian telah selesai di laksanakan. Aku hanya tinggal menunggu hasilnya yang di kirim lewat pos ke rumah. Aku mulai mencari pekerjaan yang akan menghasilkan cukup uang untuk biaya kuliahku. Apa harus ku menemui tante Inge atau om Marco adik – adik ayahku untuk meminta bantuan dana kuliahku. Tapi sepertinya sangat tidak mungkin karena mereka sudah sangat tidak peduli terhadapku dan Bobi, apalagi saat ini aku telah menjadi seorang muslimah. Mereka pasti akan sangat marah padaku karena memeluk agama lain tanpa memberitahu mereka. Ah buanglah pikiran serta rencana yang mustahil itu, aku harus berusaha sendiri, aku tidak boleh bergantung kepada orang lain. Semangat Calis .. semangat. Tapi mau kerja apa yah ? tumpukan surat kabar telah ku buka tapi hampir semuanya memerlukan S1. Putus asa kini yang terlintas di benakku. Malam telah berganti pagi, usai membuatkan Bobi sarapan dan mengantarnya ke sekolah aku langsung menjelajahi kota yang kejam ini, satu per satu toko, cafe dan restoran ku datangi untuk menjadi waiters ataupun pelayan tapi tak ada yang sesuai. Kebanyakan meminta untuk masuk malam dan pulang hampir pagi, aku tak ingin lagi membuang – buang waktu untuk Bobi. ‘di butuhkan seorang penyiar radio, segera’ ku baca tulisan yang melekat di sebuah pintu rumah. Penyiar ? tidak ada salahnya kalau ku coba. Ku  catat alamatnya, alhamdulillah ternyata tidak terlalu jauh dari rumahku. Langsung ku langkahkan kaki menuju alamat tersebut. R2M radio, (Radio Remaja Muslim) 90,8 FM ku baca slogan yang begitu besar di halaman bangunan yang memiliki dua lantai.
“assalamualaikum” ucapku sambil membuka pintu dan masuk menyapa reseptionis radio tersebut.
“wa alaikum salam, ada yang bisa saya bantu mba” katanya sopan.
“apa benar di sini membutuhkan seorang penyiar ?” tanyaku.
“iya benar, mba ingin melamar ? apa sudah membawa cv nya ?” tanyanya.
“ada, lalu kapan saya bisa melakukan interview ?” tanyaku lagi.
“sekarang juga bisa, karena kami sedang dalam keadaan mendesak dan sangat membutuhkan seorang penyiar baru, sebentar ya mba” jelasnya sambil menelpon seseorang.
“mba, silakan naik saja nanti mba masuk ke ruangan sebelah pantry, sudah di tunggu oleh pak Yusuf” katanya dengan senyum sambil menunjukan arah sebuah ruangan kepadaku.
“baiklah, terima kasih mba” ucapku.
“terima kasih kembali” katanya masih dengan senyum.
Ruangan sebelah pantry, ku lihat satu ruangan dan mengetuk pintunya sambil mengucap salam.
“wa alaikum salam, silakan masuk” jawab seseorang di dalam.
“anda yang ingin melamar sebagai penyiar ?” tanya seorang pria yang mungkin usia nya tidak terlalu jauh denganku, terlihat sangat muda dan penuh semangat.
“iya pak” jawabku singkat.
“silakan duduk” perintahnya.
“terima kasih” ucapku dan duduk di hadapannya.
“boleh saya lihat cv nya ?” pintanya.
Aku mengangguk mengiyakan sambil memberikan cv ku kepadanya.
Lelaki yang wajahnya hampir mirip dengan brad pit itu mengerutkan keningnya saat membuka cv ku.
“tidak ada ijazah terakhir ? kapan Anda lulus broadcasting dan dari universitas mana ?” tanyanya.
( ya Allah, mau jawab apa aku ) gumamkku dalam hati.
“hmm .. saya hanya lulusan SMA pak, dan hasil ujian pun belum keluar, jadi hanya ada ijazah SMP” jelasku.
“SMP ? SMP STRADA ? bukankah itu sekolah kristen ?” kagetnya.
“iya pak, saya seorang mualaf” jelasku.
Matanya langsung menatapku, kaget mungkin. Tapi ku rasakan tatapan yang berbeda, matanya terus saja memandangiku.
“pak .. bapak” kataku sambil melambaikan telapak tanganku ke pandangannya.
astaghfirullah, maaf” ucapnya.
“anda yakin ingin menjadi seorang penyiar ?” tanyanya.
“saya yakin pak” tegasku.
“saat ini saya tidak peduli masalah pendidikan karena keadaannya sangat mendesak, salah satu penyiar acara harian kami akan menikah minggu depan dan ia telah menyerahkan surat pengunduran dirinya. Buat saya yang terpenting saat ini adalah potensi dan bakat yang ada pada diri anda serta kepeduliaan dan kecintaan anda pada para pendengar nantinya. Acaranya ACKM (Anda Curhat Kami Menjawab) kebanyakan yang turut berpartisipasi dalam acara ini adalah para pemuda yang mempunyai banyak masalah , dan tugas anda sebagai pemandu acara tersebut adalah memberikan solusi yang terbaik menurut pandangan islam. Apa anda yakin ?” jelasnya.
“saya akan coba” yakinku.
“saya percaya, kalau begitu tentang kontrak dan pembayarannya bisa di urus di awal anda siaran” katanya.
“baiklah, mulai kapan saya siarannya pak ?” tanyaku.
“besok, besok jam tujuh malam sampai jam sembilan” jawabnya.
“sampai lupa, acara ini ada dari hari senin hingga sabtu” tambahnya.
“baik kalau seperti itu, saya akan kembali lagi besok” pamitku.
“saya tunggu” katanya berharap.
“kalau begitu saya pamit dulu, assalamu alaikum” ucapku.
“wa alaikum salam” jawabnya.
Dengan hati senang juga tidak tenang aku meninggalkan ruangan pak Yusuf. Penyiar ? apa aku bisa ? tak apalah untuk ku coba.
            Aku terus mendalami Islam dan memahami setiap kandungannya. Aku sangat bersyukur karena memiliki kesempatan menjadi seorang muslimah. Sejak kecil, di hatiku memang telah di tanamkan agama kristen karena kakek ku adalah seorang pendeta ternama di Perancis. Ayahku anak pertama dari tiga bersaudara, om Marco dan tante Inge adik – adik ayah. Kami hidup dengan agama yang sangat kuat. Aku pun salah seorang remaja yang sangat taat mengikuti ajaran di gereja. Namun perusahaan ayah mengalami kehancuran dan ayah pun meninggal dunia. Ibu merasa sangat terpukul, hingga sakit – sakitan dan menyusul ayah. Sakit yang ibu rasakan sangatlah dalam, hinaan demi hinaan ibu terima dari keluarga om Marco dan tante Inge. Mereka sama sekali tak membantu kami. Rumah mewah peninggalan ayah terpaksa ibu jual untuk membayar pesangon para pegawai di kantor ayah yang telah bangkrut. Di sinilah keganjalan yang ku rasakan sejak memeluk Islam, Islam sangat bersifat kekeluargaan bahkan tidak hanya antara saudara yang ada hubungan darah melainkan ke semua makhluk hidup di muka bumi ini. Berbeda dengan agamaku dulu, kristen sangatlah tertutup, bersifat kekeluargaan namun hanya sebatas ruang lingkup yang seagama. Perbedaan yang sangat mendasar antara Kristen dan Islam adalah keimanan tentang duniawi. Islam membolehkan umatnya untuk menikah serta berkeluarga namun kristen beranggapan seorang wanita yang salih tidak akan menikah dan akan mengabdikan hidupnya sebagai biarawati. Padahal jelas sekali bahwa kita hanya manusia biasa yang pastinya memiliki nafsu. Islam membawaku dalam ketenangan, terhanyut dalam kepuasan batin yang sangat sulit ku jelaskan. Dalam al quran sangat terlihat jelas betapa islam mengajarkan tentang kebaikan. Nabi Muhammad mempunyai cinta dan kasih seperti Isa al masih (yesus kristus), keberanian seperti nabi Daud, serta kesabaran seperti nabi Ayub. Beliau hidup layaknya manusia biasa, menikah dan mempunyai keluarga. Sejak kecil Beliau hidup dengan kesederhanaan, dari lahir telah menjadi yatim dan ibunya meninggal saat Ia berusia enam tahun. Perutnya pernah di ikat dengan batu karena menahan lapar, dan tubuhnya pernah bergambar tikar karena ia tidur hanya di selembar tikar bukan di kasur yang empuk dan nyaman.  Bayangkan, seorang Rasulullah hidup dengan kemiskinan. Tapi itu tidak menjadi masalah untuknya, hatinya yang begitu bersih membuatnya tetap mulia. Lama kelamaan, aku mulai mencintai Islam sepenuhnya bukan karena ustad Bumi lagi lantaran aku mencintainya tapi karena ketenangan dan kepuasan batin yang ku dapatkan. Mungkin Allah telah memberikanku cahaya atau nikmat serta hidayah-Nya melalui ustad Bumi sebagai perantaranya. Bagiku ini adalah anugerah terindah yang pernah ku rasakan. Kini saatnya aku keluar dari hidupku yang begitu datar, keagamaan yang salah dan beban hidup yang selalu membuatku lemah. Jalan masih panjang, setelah dunia masih ada akhirat. Kehidupan yang sesungguhnya. Islam terasa semakin indah ketika aku mulai mengerjakan sholat malam. Air mata yang terjatuh saat aku bercinta dengan-Nya, merasakan kesalahan yang telah banyak ku lakukan, mengingat nikmat ketika aku memeluk Islam. Ya Allah, betapa besar karunia-Mu ini.

ENAM
            Pagi begitu cerah dengan lantunan ayat suci yang di bacakan setelah subuh. Bobi masih terlelap dalam tidurnya, usai mengerjakan sholat subuh ia tertidur kembali dan terbangun ketika ingin berangkat sekolah. Dengan semangat, aku mencuci pakaian yang sudah menumpuk dan membuatkan Bobi sarapan. Waktu telah menunjukan pukul enam tiga puluh, Bobi telah siap dan duduk di meja makan.
“kak Cal, Bobi senang ngaji di tempat Pak Haji, Bobi juga senang di sekolah yang sekarang” Ujarnya begitu bahagia.
“kakak juga senang kalau Bobi senang” ucapku.
Setelah mengantar Bobi, aku berkunjung ke tempat bu Aisyah dan membantunya membuat kue. Pak Rasyid adalah seorang dosen di salah satu universitas di Jakarta, sedangakan bu Aisyah adalah seorang ibu rumah tangga yang menunggu suaminya di rumah. Sambil mengisi waktunya, bu Aisyah sering kali menerima pesanan kue untuk sebuah acara. Keluarga kecil ini begitu bahagia meski belum mempunyai anak, usia pernikahannya telah memasuki tahun ke 57 tapi mereka tak pernah mengeluh. Menurut mereka ini memang sudah menjadi takdir dalam perjalanan hidupnya. Baik rezeki, jodoh, maupun maut yang sudah tertulis di buku yang nyata yaitu lauhful mahfuz. Anak merupakan rezeki dan bu Aisyah serta Pak Rasyid meyakini hal itu.
“siapa yang ingin menikah bu ?” tanyaku sambil melihat ke selembar undangan yang berada di atas meja sebelah bu Aisyah.
astaghfirullah al adzim, ibu sampai lupa menyampaikannya kepadamu” ucapnya.
“ada apa ?” tanyaku.
“ini, Bumi yang mau menikah. Ini ada undangannya untukmu” jelasnya sambil menyerahkan sebuah undangan padaku.
Apa ? ustad Bumi akan menikah ? betapa terkejutnya aku mendengar berita itu. Ustad Bumi, pria yang ku cintai akan menikah dengan orang lain. Entah apa yang harus ku rasakan, senang atau harus menderita karena menyadari bahwa cintaku bertepuk sebelah tangan. Bumi al Kahfi dan Khanza Zahira. Betapa indahnya nama calon istri ustad Bumi, pasti sangat cantik dan solehah. Beruntung sekali karena akan menikah dengan laki – laki yang akan dapat membawanya ke surga.
“nak” sapa bu Aisyah mengagetkan lamunanku.
astaghfirullah” ucapku.
“minggu ini ya bu ? kita datang sama – sama ya” kataku kembali tenang.
“tentu, ajak Bobi juga” katanya.
Aku menganggukan kepala sambil tersenyum.
Adzan dzuhur telah berkumandang, sehabis melaksanakan sholat bersama bu Aisyah aku pamit untuk bekerja menjaga warnet dan berpesan kalau aku akan pulang malam karena sekalian siaran. Jadi ku titipkan Bobi padanya.
Aku terus melamun dan memikirkan pernikahan ustad Bumi, haruskah aku mengahadirinya meski batinku terasa sangat perih. Tapi aku harus datang karena itu salah satu kewajiban seorang muslim terhadap muslim lainnya, bila di undang haruslah datang. Aku pun tak ingin mengecewakan ustad Bumi, serta semua orang yang telah membimbingku mengenal islam hanya karena perasaanku semata. Warnet terlihat sepi, tak biasanya yang selalu ramai di penuhi anak – anak sekolah. Sejak tadi hanya ada seorang pemuda yang hampir tiga jam berdiam di tempatnya. Tak lama kemudian pemuda itu beranjak dari tempatnya, wajahnya begitu menakutkan, tatapannya kosong.
“berapa mba ?”tanyanya.
“tiga belas ribu” jawabku.
Hatiku mulai merasa tidak tenang, ku rasakan perasaan yang sangat takut dan curiga tapi tetap berusaha tenang. Seketika matanya menatap ke arahku.
“mba sangat cantik, kenapa tidak menjadi model saja” tanyanya.
“terima kasih, tapi saya tidak berminat” kataku sambil memberikan kembalian.
“tapi mba cantik sekali, apalagi sejak mengenakan jilbab. Aku selalu memperhatikanmu sejak dulu, sejak dirimu masih menggunakan seragam sekolah yang seksi” ujarnya semakin tidak sopan.
“oh .. saya tidak tahu kalau di perhatikan” kataku sedikit gugup.
“jangan takut mba” ucapnya sambil memegang tanganku.
astaghfirullah, lepaskan” marahku.
Dengan cepat ia memeluk tubuhku, aku terjatuh karena ia mendorong sangat kuat. Tubuhnya tepat berada di atas tubuhku. Aku berusaha untuk berteriak akan tetapi tidak bisa karena tangannya terus mendekap mulutku. Ya Allah hanya Engkau yang dapat menolongku.
astaghfirullah, kak Calista” ucap seseorang dan dengan sigap memukul pemuda itu dengan tangannya.
Ternyata dia adalah Gilang anak kelas tiga SMP langganan tetap di warnet tempatku bekerja. Syukurlah, ia datang bersama ke lima temannya dan langsung memukuli pemuda yang mencoba merenggut kesucianku. Usai memukuli pemuda itu, salah seorang di antaranya menghubungi polisi. Polisi pun datang dan membawa pemuda yang tidak bermoral tersebut.
“kakak tidak apa – apa ?” tanya Gilang dengan raut muka cemas.
alhamdulillah de, kakak tidak apa – apa” jawabku tenang.
“terima kasih ya” ucapku padanya dan ke lima temannya.
“sama – sama kak, Gilang kenal laki – laki itu kak. Dia seorang pengangguran yang hobinya menonton film porno” jelasnya.
“yasudahlah, biar Allah yang membalasnya. Sekali lagi kakak ucapkan terima kasih buat Gilang dan teman – temannya” kataku dengan memberinya senyum.
“sama – sama kakak yang cantik” jawabnya kompak.
Sungguh tak dapat ku bayangkan kejadian ini terjadi padaku, tapi alhamdulillah karena Allah masih melindungiku. Pulang menjaga warnet, aku langsung menuju ke radio R2M untuk siaran perdana. Semoga saja peristiwa tadi tak mengacaukan perasaanku. Pak Yusuf sudah menungguku, tanpa banyak bicara ia langsung menyuruhku masuk ke ruang siaran dan memulai acara.
Bismilahirohmanirrohim, dan aku mulai bersuara di udara.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh pemuda pemudi yang di rahmati Allah, kembali lagi bersama kami di acara ACKM (Anda Curhat Kami Menjawab) sebelumnya saya akan perkenalkan diri saya sebagai pengganti mba Alya di acara ini, nama saya Calista tidak perlu sungkan semua bisa bercerita di sini jika menurut sobat muda itu layak untuk di ceritakan, insyaAllah kami akan mendengarkan dan memberikan solusi yang terbaik tapi tetap dengan berharap pada Allah, baiklah sebelum ada penelpon mari kita dengarkan lagu berikut ini”
Di luar ruangan, pak Yusuf memberikan acungan jempol sambil tersenyum. Saat lagu yang di putar telah berhenti, suara telpon berdering.
“assalamualaikum” sapaku.
“wa alaikum salam” jawabnya begitu lirih.
“dengan siapa di sana ?” tanyaku lembut.
“hamba Allah” jawabnya singkat.
“mendengar suaramu, aku seperti merasakan kepedihan yang mendalam. Apa ada yang ingin kamu ceritakan wahai saudariku?” peduliku.
Ia terdiam beberapa menit, yang terdengar hanya suara tangis yang begitu menyayat hati.
“wahai akhwat yang di lindungi Allah” sapaku khawatir.
“iya mba, aku masih di sini” jawabnya.
“ceritalah, kalau kamu merasa yakin padaku, ceritalah kalau dapat membuatmu tenang, tapi tutuplah telpon ini kalau hanya menjadi beban untukmu”
“aku .. aku hamil mba, aku hamil sebelum menikah. Orang tuaku telah lama tiada, hidupku berantakan, aku mempunyai seorang kekasih yang berjanji akan menikahiku setelah merenggut kesucianku tapi kini ia pergi entah kemana, usiaku kini baru tujuh belas tahun, aku sudah berusaha untuk menggugurkannya tapi nihil hasilnya, aku juga sudah berkali – kali mencoba bunuh diri tapi selalu saja gagal, aku malu mba, malu dengan kakak iparku yang telah membiayai hidupku, aku kasihan dengan kakak ku yang dengan sabar menyayangiku, aku malu telah menjadi beban hidupnya. Aku malu ..”
Seketika suara yang semangat dalam becerita berganti dengan tangisan.
Aku, Pak Yusuf, mas Danu operator yang menemaniku siaran bahkan mungkin semua yang mendengar pun akan terhanyut ke dalam kesedihannya.
“apa kamu malu kepada Allah ?” tanyaku tegas dan berhenti sejenak agar ia mencerna pertanyaanku.
“kamu memang bersalah, jadi wajar kalau kamu malu. Tapi malu lah pada Allah, malu akan perbuatanmu yang hina, bertobatlah selama masih ada kesempatan, bersyukurlah karena Allah masih memberimu kehidupan, masih memberimu kesempatan untuk bertobat, aku yakin kakakmu pasti akan kecewa bahkan marah padamu akan tetapi aku juga yakin kalau itu hanya sesaat dan kemudian akan memaafkanmu kembali, karena aku juga seorang kakak dan kakakmu melakukan itu karena hanya ia yang kamu punya dan hanya dirimu yang ia punya.Lihatlah ke luar, masih banyak orang yang menderita lebih parah di banding dirimu, jangan beranggapan bahwa kamu adalah satu – satunya orang yang mempunyai masalah, mengenai kekasihmu, biarlah Allah yang mengambil alih sebagai yang Maha adil, tetaplah jalani hidup ini dengan tantangan – tantangan yang baru, dan teruslah bertobat akan kesalahan – kesalahan yang kamu lakukan, ada kemudahan bersama kesulitan. Aku yakin itu, bukankah kamu bilang kamu telah berusaha membunuh bayi dalam kandunganmu tapi selalu gagal, itu adalah kehendak-Nya wahai saudariku. Ketahuilah Allah yang lebih mengetahui apa yang terbaik untukmu. Sekarang mau kah kamu berjanji padaku untuk tetap bertahan ?” nasihatku.
“wahai saudariku, maukah kamu berjanji ?” kataku mengulang pertanyaan.
“terima kasih mba, mungkin aku terlalu jauh dari Allah hingga belum pernah merasakan kedamaian seperti saat ini, saat mba mengingatkanku terhadap Sang Pencipta. Aku berjanji akan terus bertahan. Aku berjanji. Assalamualaikum”
Teleponnya terputus sebelum aku menjawabnya.
“wa alaikum salam warohmatullahi wabarakatuh, baiklah siapapun dirimu aku yakin kamu akan mampu mengatasinya jika berpegang teguh dengan iman dan meletakkan Allah di hatimu” kataku meyakinkan dengan nada yang lembut.
Pak Yusuf sangat senang mendengar siaranku dan ia terus saja memujiku. Usai siaran dan menanda tangani kontrak kerja aku langsung pamit pulang.

TUJUH
            Jam setengah sepuluh malam aku sampai di rumah, ku lihat Bobi yang tengah tertidur lelap. Selesai makan malam dan berganti pakaian ku baringkan tubuhku di atas tempat tidur yang terasa begitu nyaman setelah melewati hari yang begitu melelahkan. Aku teringat kejadian di warnet, tapi tidak membuatku terlalu khawatir. Karena aku yakin Allah akan selalu bersamaku selama aku meminta-Nya untuk melindungiku. Ingatanku beralih pada ustad Bumi, ia akan menikah tapi bukan dengan diriku. Aku akan berusaha ikhlas menerimanya, karena pastinya Allah telah menyiapkan jodoh yang lain untukku. Aku rasa, aku dapat kuliah tahun ini karena penghasilan ku sebagai penyiar lumayan untuk membiayai kuliah, aku sempat melihat nominalnya saat tanda tangan kontrak tadi. Kalau masalah kebutuhan sehari – hari dapat ku atur dari penghasilanku menjaga warnet, tapi aku berencana mencari kerja lagi untuk mengisi waktu kosongku di pagi hari sebelum kuliah di mulai. Besok aku akan mulai mencari, sebagai pelayan lestoran mungkin atau sebagai tukang cuci piring karena aku hanya memiliki waktu pagi hingga siang hari. Mataku terasa begitu berat, pandanganku pun mulai hilang. Aku terbangun di sepertiga malam, sudah menjadi rutinitasku untuk bercinta dengan-Nya. Sejak pagi hingga malam aku telah mencari duniawi, kini saatnya aku merengguh akhiratMu ya Rabb. Dua rakaat usai ku kerjakan, ku buka al quran yang selalu ku pelajari. Membacanya pun masih sangat sulit, bahkan terbata – bata. Bu Aisyah tak pernah lelah terus mengajariku, kini aku masih di juz pertama surat Al baqarah. Al quran benar – benar kitab yang nyata, bahkan tak ada satu orang pun yang mampu membuat serupa dengannya walaupun hanya satu ayat saja. Betapa suci kitab yang di bawa oleh nabi besar Muhammad SAW sangat berbeda dengan injil yang buatan manusia dan
mendapatkan pengesahan dari gereja.Ada lagi hal yang terkadang ingin membuatku tertawa saat mengingatnya, tentang pengakuan dosa. Di dalam agamaku yang dulu setiap orang yang melakukan dosa harus mengakui semua kesalahannya di depan pendeta untuk memperoleh ampunan, dan dengan sekali ucapan ‘Tuhan Yesus telah mengampunimu, maka semua dosamu kini telah hilang’ maka semua dosa yang telah di lakukan hilang dengan mudahnya. Oleh karena itu, manusia tidak takut berbuat dosa karena akan mendapatkan ampunan dengan begitu mudahnya. Sedangkan dalam islam, siapa yang melakukan dosa ia harus memohon ampunan Allah terus – menerus dan berjanji serta berusaha untuk tidak mengulanginya lagi. Dengan melakukan hal yang baik atau dengan perbaikanlah yang mampu menghapus dosa – dosa tersebut, dengan izin Allah pastinya. Subhanallah, betapa islam begitu indah. Ku angkat kedua tanganku seraya meminta kepada Sang pemilik langit dan bumi.
‘ya Allah ya Tuhanku, wahai Dzat yang Maha membolak balikan hati manusia teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu, bimbinglah hatiku agar senantiasa beriman kepada-Mu. Ya Allah yang Maha melindungi, aku berlindung kepada-Mu dari segala macam fitnah, dari penyakit hati rasa iri, dengki, dendam, munafik dan su’udzon. Aku berlindung kepada-Mu dari segala macam kebencian dan kesedihan, aku berlindung dari bahaya lidah yang dapat menjatuhkanku ke dalam neraka-Mu. Jauhkanlah aku dari hal – hal yang dapat menjauhkanku dari-Mu. Ya Allah ya Rahman ya Rahim, aku berlindung pada-Mu dari gangguan setan yang terkutuk dan manusia – manusia yang berhati dengki. Ya Allah wahai Dzat yang Maha pemberi keputusan berilah aku kekuatan untuk terus bertahan dalam menjalani hidup, berilah aku kekuatan dan ketegaran dalam menghadapinya serta berilah aku kesabaran dan keikhlasan dalam menjalankan dan menerimanya. Tentang ustad Bumi, jauhkanlah ia kalau memang ia bukan orang yang Kau ciptakan untukku, pisahkanlah kami dengan cara-Mu yang paling lembut dan peliharalah aku dari rasa kecewa serta ajarilah aku untuk mengikhlaskannya karena hanya Engkaulah yang tahu apa yang terbaik wahai Sang pemberi keputusan. Ya Allah ya Ghofur Sang Maha pengampun, ampunilah dosa – dosaku di masa lalu dan dosa – dosaku saat ini. Terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang telah Kau berikan untukku, terima kasih atas kesehatan, keselamatan, rezeki dan ketenangan yang Kau berikan padaku. Syukurku teramat besar atas semua karunia-Mu. Terima kasih ya Allah, terima kasih’
           
DELAPAN
Pagi telah menyapa kembali, kokok ayam yang saling bersahutan di temani lantunan ayat – ayat suci di masjid – masjid terasa begitu damai. Ku bangunkan Bobi untuk sholat subuh, walaupun terlihat masih sangat mengantuk tapi ia tetap mengerjakannya sampai selesai. Bobi pun tertidur kembali, pakaian yang kemarin ku cuci telah kering dan saatnya untuk ku setrika. Seperti biasa, setengah tujuh Bobi sudah siap untuk berangkat sekolah. Hari – harinya sekarang selalu penuh dengan tawa bahagia. Pulang sekolah, ia istirahat dan tidur siang setelah makan. Ba’da ashar ia mengaji hingga masuk waktu maghrib di masjid dekat rumah dan Pak Haji yang mengajarnya. Senyum selalu mampir di bibirnya yang mungil, tatapan yang penuh harapan selalu menghiasi matanya. Islam begitu indah hingga mampu mengubah hidupku 180 derajat.Sesuai rencana, pagi ini aku akan mencari kerja untuk mengisi waktukku di pagi hari. Alhamdulillah, tidak terlalu sulit. Di dekat rumahku ada sebuah rumah makan sederhana yang sedang membutuhkan seorang pelayan untuk mencuci piring juga melayani pembeli. Aku pun menjelaskan kalau hanya bisa kerja setengah hari, mengenai bayaran aku terima berapa pun yang penting ia ikhlas memberikannya. Aku pun di perbolehkan kerja di rumah makan tersebut, mencuci piring dan melayani para pembeli.
Hari telah berganti, ini adalah hari pernikahan ustad Bumi. Sejak subuh aku telah bersiap, karena perjalanan Jakarta – Semarang cukup lama. Aku, Bobi, bu Aisyah dan Pak Rasyid berangkat jam enam pagi dengan menggunakan mobil pesantren yang telah di kirim ustad Bumi sejak kemarin. Baju gamis berwarna hijau melekat di tubuhku, dengan sedikit polesan bedak dan goresan lipglos di bibirku. Entah apa yang ku rasakan, jantungku terus berdegup tak beratur, hati dan perasaanku sungguh tidak tenang. Apa ? apa yang harus ku lakukan, ingin lari rasanya dan tak perlu menghadiri pernikahan ustad Bumi karena aku sungguh tidak kuat. Ya Allah tenangkanlah hatiku. Setibanya di pesantren, begitu banyak tamu yang datang dan pergi. Kakiku mulai berat untuk melangkah, apa aku kuat melihat lelaki yang ku cintai menikah dengan orang lain ?
“assalamualaikum Calis” ucap seseorang yang suaranya tak asing lagi bagiku.
“wa alaikum salam mba Us” jawabku.
“kuatkanlah hatimu, mba tahu perasaanmu walaupun mulutmu tak berucap tetapi matamu yang indah tidak akan pernah dapat berbohong. Bumi sama sekali tidak mengetahui perasaanmu, perasaannya kurang peka terhadapmu sehingga ia hanya menganggapmu sebatas adik, Khanza Zahira adalah anak kiyai Abdullah teman ayah sejak dulu. Mereka telah melakukan ta’aruf lalu keduanya merasakan kecocokan yang sama dan terjadilah pernikahan ini, mba yakin kamu akan mendapatkan yang lebih baik dari Bumi. Lelaki baik – baik hanya untuk wanita baik – baik begitu pun sebaliknya, dan laki –laki keji hanya untuk wanita yang keji pula dan begitu pula sebaliknya. Itulah janji Allah, Sabar ya ndo” katanya menenangkanku.
Aku hanya memberinya senyum sambil mengucapkan terima kasih. Astaghfirullah, ampunilah dosaku atas perasaan ini. Ku langkahkan kakiku dan mendekat ke arah pengantin bersama bu Aisyah dan Pak Rasyid. Subhanallah, betapa serasinya pasangan ini. Ustad Bumi yang begitu tampan dan Khanza Zahira yang tampak cantik dengan kebaya berwana merah jambu. Ku beranikan diri menatap mata yang begitu hangat, mata ustad Bumi. Astaghfirullah, ucapku terus – menerus. Ku alihkan pandanganku ke arah Khanza wanita yang sangat beruntung karena memiliki imam yang begitu soleh, matanya terus menatap ke arahku senyumnya mengembang di bibirnya sejak awal melihatku, dan ketika aku mengucapkan selamat padanya ku rasakan dekapan erat darinya, air mata yang sejak tadi di tahannya jatuh di pipinya. Ada apa ini ? apa ia tahu perasaanku ? apa ia marah padaku ? semua mata melihat heran ke arah kami. Ingin lari rasanya, apa yang harus ku jawab bila ia bertanya perasaanku. Namu syukurlah, ternyata Khanza teringat adiknya yang sedang kuliah di Al Azhar Kairo, sangat tak di duga kalau wajahku begitu mirip dengan adiknya. Ia hanya dua bersaudara dan sudah lima tahun berpisah, bahkan di hari yang paling penting baginya ini sang adik tidak dapat hadir karena ada ujian yang tidak bisa di tinggalkan. Tapi dengan kehadiranku ia merasakan kehadiran adiknya. Aku semakin merasa bersalah karena perasaanku terhadap ustad Bumi, dengan sambutan yang penuh rasa sayang dari istrinya. Aku akan terus berusaha ikhlas walaupun sangat berat tapi aku tidak mau egois tentang perasaanku. Biarlah Allah yang memberikan jalan padaku. Pernikahan adalah awal dari perjodohan, dan sejak pernikahan itulah jodoh akan di jalankan. Semoga ustad Bumi dan Khanza Zahira dapat menjadi pasangan yang bahagia dan menjadi keluaga sakinah, ma’wadah dan warohmah. Amin.

SEMBILAN
            Kami hanya menginap satu malam, karena Bobi harus sekolah. Begitu juga dengan aku dan pak Rasyid yang harus bekerja. Sehabis sholat subuh berjamaah, kami kembali ke Jakarta. Perasaanku berbeda tidak seperti kemarin, lebih tenang dan mulai merasa ikhlas. Bobi terlihat begitu lelah hingga ia terlelap di pangkuanku. Ku pandangi terus wajahnya yang polos dan tidak berdosa. Aku berjanji akan terus bersamanya hingga kematian memisahkan kita karena hanya ia yang ku punya dan hanya aku yang ia punya. Aku berjanji akan menyekolahkannya sampai menjadi sarjana, apa pun akan ku lakukan untuknya. Setibanya di Jakarta, aku beristiharat sejenak dan langsung pergi ke radio R2M. Kali ini, pak Yusuf dengan santai menungguku karena ia telah kagum dengan siaranku tempo lalu. Pak Yusuf adalah pemilik radio R2M, umurnya baru dua puluh lima tahun dan ia belum menikah. Banyak para penyiar dan pekerja di R2M yang menyukainya, tapi tak pernah ia hiraukan. Pikirannya hanya pada pekerjaan dan ketaatannya, belum siap untuk menikah katanya karena belum menguasai ilmu tentang pernikahan seutuhnya alasan yang ku dengar dari beberapa penyiar di R2M. Aku pun mengaguminya tapi hanya sebatas atasan dan bawahan tidak lebih.
“maaf pak, bolehkah saya bertanya ?” sapaku sebelum siaran.
“tentu, apa yang ingin kamu tanyakan?” katanya sopan.
“mengapa bapak tidak menikah, sedangkan bapak telah memiliki segalanya” kataku sambil memberinya senyum.
“belum saatnya mungkin, tapi saya yakin kalau jodoh saya saat ini sudah di siapkan dan berada di suatu tempat yang suatu saat nanti akan di pertemukan dengan cara yang telah Allah atur, kamu sendiri kenapa belum menikah ?” tanya baliknya.
“hmmm, bapak. Saya masih sangat muda. Masih banyak hal yang ingin saya lakukan” jawabku sambil memutar kedua bola mataku merasa malu. Aku menyukai pak Yusuf layaknya seorang kakak, karena ia sungguh baik dan dapat bersikap dewasa.
“sudah saatnya siaran, goodluck ya Calis” ucapnya mengingatkanku.
“siap bos” kataku dan berjalan menuju ruang siaran.
Aku sudah mulai terbiasa dan tidak merasa gugup ataupun gerogi lagi, mas Danu yang selalu menemaniku siaran pun sudah ku anggap sebagai kakaku sendiri.
Bismillahirrohmanirrohim ‘assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh, selamat malam pemuda pemudi yang di rahmati Allah, senang sekali karena sampai saat ini saya masih di berikan kesempatan untuk menemani malam hari anda semua. Baiklah saya tunggu telpon dari para kaula muda yang ingin berbagi keluh kesahnya ataupun sekedar kirim salam. Tetap bersama Calis dalam acara ACKM (Anda Curhat Kami Menjawab) sebuah lagu dari opick dengan Taubat’
Sebelum lagu selesai sudah ada penelpon masuk,
“baiklah, kita angkat telpon yang pertama, assalamualaikum” sapaku.
“wa alaikum salam” jawab seorang pria dengan nada lembut.
“baiklah, dengan siapa di sana ?” tanyaku.
“panggil saja saya Abenk” jawabnya.
“Abenk, apa yang ingin kamu sampaikan ? apa kamu ingin bercerita ? atau ....” tanyaku.
“aku seorang gay mba” ujarnya sangat membuatku terkejut.
astaghfirullah al adzim” kagetku.
“kamu yakin ingin membuka kisahmu di acara ini ?” tanyaku.
“aku yakin mba, aku ingin semua orang tahu betapa tersiksanya menjadi seorang homoseksual” tambahnya.
“baiklah, apa yang ingin kamu sampaikan ?” tanyaku lembut.
“yang pertama, aku ingin meminta maaf pada mamah dan papahku yang ada di rumah, yang telah berhasil membuatku menjadi seorang gay” katanya melemah.
“mengapa seperti itu ?” tanyaku heran.
“karena mereka selalu sibuk dengan urusan mereka, hingga mereka lupa kalau ada aku di antara mereka. Dan yang kedua, aku ingin mengucapkan terima kasih pada Marissa yang telah membuatku membenci seorang wanita dan mengubahku menjadi seorang homo” Tambahnya lagi.
“abenk, sekali lagi aku tanya apa kamu yakin ingin bercerita padaku dan pendengar di luar sana ?” tanyaku lagi.
“iya mba Calis, aku yakin. Sangat yakin” tegasnya.
“aku seorang pengusaha di salah satu perusahaan di Jakarta, awalnya aku adalah laki – laki normal yang mencintai seorang wanita. Sejak kecil, mamah dan papahku selalu sibuk dengan kerjaan mereka dan saat pulang hanya pertengkaran yang mereka tunjukkan padaku bukan perhatian ataupun kasih sayang layaknya orang tua. Aku kesepian, dan sangat haus akan kasih sayang, sampai pada saat aku masuk SMP aku mulai mencintai seorang gadis yang bernama Marissa, kami pun berpacaran. Aku sangat mencintainya namun ia malah memanfaatkan cinta yang tulus ku berikan padanya, ia menjadikanku layaknya seorang kacung. Dan bodohnya, aku selalu menuruti semua perkataannya. Aku tak punya lagi harga diri karena cintaku yang begitu besar untuknya. Bahkan sejak masuk SMA, ia telah berselingkuh dan bercinta dengan temanku sendiri. Aku marah padanya, sangat – sangat marah inikah seorang wanita yang mempunyai hati bagaikan mutiara. Namun ternyata busuk, cintaku yang begitu besar telah merubah segalanya. Saat aku kelas dua SMA, aku bertemu dengan sebut saja Bagas. Ia sangat baik padaku dan sangat perhatian serta peduli denganku, kasih sayang yang selama ini tak pernah ku dapatkan kini telah ku dapatkan darinya. Bersamanya aku seperti meneguk air saat aku merasa dahaga, aku seperti ladang yang segar terkena tetesan embun pagi karena rasa sayang dan cintanya. Ia bisa menjadi mamah papah dan kekasih yang sungguh sempurna untukku, tanpa ku sadari aku telah mencintainya. Kehadirannya membawa kebahagiaan untukku, hari – hariku tak lagi kelam, canda tawa selalu ku nikmati saat bersamanya. Aku pun mendapatkan kepuasan batin saat bercinta dengannya. Tujuh tahun kami telah bersama, melewati suka dan duka bersama. Tertawa, bercanda dan menangis bersama. Berbagi kisah duka maupun suka, saling mengisi ke kosongan, makan dan minum bersama. Indah sekali dunia saat aku bersamanya. Dengannya aku begitu bahagia dan merasa nyaman. Semua bebanku hilang, kesepianku pun berubah menjadi keceriaan, aku merasa tak membutuhkan apa pun lagi saat bersamanya. Aku tahu ini salah, aku tahu ini dosa. Tapi jujur aku sangat mencintainya, aku tak tahu apa yang akan terjadi kalau aku meninggalkannya ataupun ia meninggalkanku. Akankah bisa ku hadapi hari – hariku dengan senyuman seperti saat aku bersamanya, akankah bisa ku hadapi dunia ini tanpanya. Sampai pada saat kedua orang tuaku mulai curiga dengan hubungan kami, dan kini mamah papahku memintaku untuk segera menikah. Ini memang pilihan yang sangat sulit, aku merasa sangat jahat jika harus meninggalkan Bagas dan kembali ke jalan yang benar. Aku memang sangat menyayangi Bagas tetapi aku pun sangat menyayangi orang tuaku, kini mereka telah berumur dan sering kali sakit – sakitan, aku pun mulai mengerti bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kebaikanku, mereka bekerja mati – matian agar dapat memenuhi semua kebutuhanku, agar aku dapat menjadi seseorang yang sukses walaupun sebenarnya bukan ini yang ku mau, tapi aku sadar kalau mereka sangat menyayangiku. Setidaknya, dalam hidupku yang suram ini ingin sekali ku berikan satu kebahagian untuk kedua orang tuaku sebagai butiran balasan untuk mereka yang telah melahirkan dan membiarkan aku mengenal dunia. Aku pun ingin hidup normal, dan aku pikir Allah telah memberikan jalan padaku untuk kembali ke jalan yang benar dan inilah saatnya walaupun sangat sulit tapi aku akan mencobanya untuk kebahagiaan orang tuaku dan ketenangan hidupku. Mungkin di hati kecilku masih tersisa keimanan, hingga terkadang aku merasa sangat berdosa dan ingin kembali ke jalan yang benar. Ingin hidup tenang layaknya seorang laki – laki yang mencintai wanita, ingin menjadi seorang pria sejati. Akan tetapi bagaimana dengan Bagas, orang yang selalu ada untukku. Apa dapat ia bertahan jika aku meninggalkannya. Ini adalah pilihan yang sangat sulit. Jika bunuh diri tidaklah berdosa, rasanya ingin ku sudahi hidup ini dengan meminum racun serangga ataupun menggoreskan pisau di lenganku. Tapi seperti yang ku bilang tadi bahwa di hati kecilku yang sangat dalam masih tersimpan keimanan dan rasa takutku pada sang Khalik, walaupun aku tahu kalau aku sudah sangat menjijikan. Bagi semua yang mendengar ceritaku, aku ingin mengatakan jangan pernah sekali – kali mencobanya ataupun masuk dalam pilihan ini karena jika kita telah masuk maka akan sulit, sangat – sangat sulit keluar dan menyudahinya. Dan jangan pernah menyalahkan kaum homoseksual karena kami pun tak pernah ingin menjadi seperti ini. Namun menyalahi orang lain ataupun keadaan juga tak akan mampu merubah segalanya. Andai saja Bagas seorang wanita, maka aku tidak akan berfikir dua kali untuk menikah dengannya. Rasanya saat ini aku ingin pergi ke luar negeri dan menikah dengannya, membentuk keluarga kecil yang akan bahagia selamanya. Mba Calis, menurut mba apa yang harus aku lakukan ? haruskah aku meninggalkan Bagas, orang yang telah menemaniku selama tujuh tahun, orang yang telah mengisi hari – hariku yang kelam, dan mengikuti nasehat orang tuaku untuk menikah dan kembali kejalan Allah ataukah aku harus tetap bersama Bagas, hidup dengannya dan menikmati dunia ini bersamanya serta meninggalkan kedua orang tuaku ?” ceritanya sungguh membuatku masuk ke dalam kisahnya.
“jika kamu meminta pendapatku, maka tanpa pikir panjang aku lebih memilih pilihan yang pertama. Sudahilah hubunganmu dengan Bagas dan kembalilah ke jalan Allah. Suatu permulaan memang tidak mudah, akan tetapi semua akan dapat di hadapi jika kita memiliki keyakinan. Tentang Bagas, aku tak menyuruhmu untuk meninggalkannya tapi jika itu adalah cara yang terbaik mengapa tidak. Berdoalah selalu untuknya, aku yakin Allah telah menyiapkan hidayah untuknya hanya waktu yang belum mendatanginya. Bertobatlah dan kembalilah selagi kamu masih memiliki kesempatan dan maafkanlah orang tuamu serta Marissa yang telah membuatmu salah menilai seorang wanita. Aku sangat kagum padamu, karena kamu tidak dendam pada orang tuamu bahkan mau memaafkan mereka dan ingin kembali karena mereka. Aku yakin Allah akan memberikanmu kemudahan. Aku yakin” kataku.
“terima kasih mba telah mendengarkan ceritaku, minta doanya. Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatuh” ucapnya.
“pasti, aku serta semua para pendengar akan mendoakanmu Abenk. Wa alaikum salam warohmatullahi wabarakatuh” kataku.
Telpon pun terputus, semoga Allah selalu memberikan keputusan yang baik untukmu. Amin.
           
SEPULUH

            Empat tahun telah berlalu, kini aku kuliah di salah satu universitas swasta di daerah Jakarta. Dan mengambil jurusan tarbiyah dalam fakultas Agama. Berbeda dengan tujuanku dulu, sastra. Islam begitu indah hingga menarik perhatianku dan mengalihkan tujuan utamaku untuk menjadi seorang penulis. Dengan Islam aku merasa begitu tenang dan ingin terus mempelajarinya. Bobi sudah kelas enam sekolah dasar dan sangat pintar dalam mengaji. Ku dengar dari bu Aisyah kalau ustad Bumi dan Khanza juga telah memiliki dua orang anak. Usiaku saja baru dua puluh satu tahun, belum berfikir untuk menikah. Aku sudah merasa sangat senang dengan kehidupanku saat ini. Aku telah memiliki segalanya, betapa Allah sangat sayang padaku hingga Ia selalu memberikanku nikmat tiada hentinya. Kini tinggal bagaimana cara aku bersyukur dan menjaga semua titipannya. Saat ini aku tidak bekerja lagi di rumah makan sederhana karena sudah masuk kuliah, karena waktuku di pagi hari di gunakan untuk kuliah. Aku masih tetap menjaga warnet dan menjadi seorang  penyiar. Di kampus pun aku menjadi seorang aktivis islam, sambil terus belajar memahami agama yang suci ini. Sekarang aku sedang sibuk menyelesaikan skripsi karena sudah memasuki semester akhir. Malam kian larut, selesai siaran di R2M aku pun pulang seorang diri. Sudah dua tahun ini pak Yusuf tinggal di Surabaya bersama orang tuanya, karena ia telah di jodohkan dan akan segaera menikah. Malam ini sangat berbeda, tidak seperti biasanya, sudah hampir satu jam aku menunggu metromini di halte. “tolong ..” rintih seseorang yang lumayan jauh dari halte. Takut yang ku rasakan, namun ku beranikan diri untuk mendekati suara itu dan terus melangkah mendekat. Astaghfirullah, seorang pendeta tua ku lihat sangat tidak berdaya di pinggir jalan. Tangannya terus memegang pisau yang menancap di perutnya, tanpa pikir panjang aku segera membantu untuk melepaskannya. “te .. ri .. maka .. sih .. nak .. tuhan .. mem .. berkati .. mu” kata – kata terakhir itu keluar dari mulutnya. Innalilahi wa innailaihi rojiun, ucapku saat menyadari pendeta tersebut sudah tidak bernyawa. Hanya dalam beberapa menit, khalayak ramai telah memandangiku tajam. Apa maksudnya ? polisi pun tiba di tempat kejadian. Astaghfirullah, aku tidak membunuhnya.
Ternyata polisi dan semua orang yang ada di tempat kejadian menuduhku sebagai pelakunya.
“demi Allah Pak, aku tidak membunuhnya” kataku meyakinkan para polisi yang ingin membawaku.
Mereka hanya terdiam seolah tak mendengar suaraku, dan terus menarik tanganku serta memaksaku untuk ikut bersamanya. Ya Allah cobaan apalagi ini ? kalau memang dengan ujian ini dapat menambah ke imananku berilah kekuatan juga ke ikhlasan padaku. Beberapa jam kemudian, keluarga pendeta tua itu tiba di kantor polisi yang tidak lama di susul dengan kehadiran pak Rasyid dan bu Aisyah serta adikku, Bobi tersayang.
“PEMBUNUH KAU .. DASAR PENCURI DAN PEMBUNUH .. TERKUTUK” tuduhan itu keluar berkali – kali dari mulut keluarga pendeta itu. Tamparan demi tamparan pun mendarat di pipiku.
“demi nama Allah yang begitu suci bu, aku tidak membunuhnya, aku bersumpah” aku mencoba menceritakan hal yang terjadi pada bu Aisyah dan pak Rasyid.
“kalau kamu butuh uang, tidak perlu seperti ini nak. Ada kami yang selalu ada untukmu, ibu tahu kamu harus banting tulang untuk memenuhi hidupmu dan Bobi tapi tidak seperti ini caranya” nasihat bu Aisyah tanpa percaya penjelasanku.
Apa ? bu Aisyah yang telah lama mengenalku tidak mempercayaiku ? orang yang telah ku anggap sebagai orang tuaku tidak mempercayaiku. Aku begitu terkejut mendengar kata – kata yang keluar dari mulutnya.
“tidak seharusnya kamu berbuat seperti ini nak, bapak sungguh kecewa padamu” tambah pak Rasyid membenarkan tuduhan itu.
ASTAGHFIRULLAH, ibu, bapak, kalian telah lama mengenalku. Aku tidak mungkin melakukan hal serendah itu, aku terus bertahan hidup dengan keringatku sejak masih sekolah bahkan terkadang aku tidak pernah ingin merepotkan kalian, apa pernah sekalipun aku meminta pada kalian ? aku sudah menganggap kalian seperti orang tuaku sendiri, tapi kenapa kalian tidak percaya padaku ? demi Allah, demi kesucianku dan demi agamaku aku tidak membunuhnya. Aku tidak membunuhnya apalagi karena alasan uang. Aku tidak membunuhnya, percayalah padaku, ku mohon PERCAYALAH” kataku tak kuat menahan tangis.
“uang memang bisa membuat orang menjadi lupa, himpitan kehidupan memang sering kali menjadi alasan utamanya. Maka tak salah firman Allah yang mengatakan bahwa harta dan anak adalah ujian bagi manusia. Semoga Allah mengampuni dosa – dosamu nak” tambah pak Rasyid terus memojokanku.
“DEMI ALLAH .. DEMI ALLAH .. AKU TIDAK MEMBUNUHNYA” suaraku meledak tinggi, dalam hidupku belum pernah aku bersuara sekeras itu.
“aku tidak membunuhnya, aku tidak membunuhnya” berulang kali hanya kata itu yang keluar dari mulutku dan semakin melemah. Aku mengalihkan pandangan ke arah Bobi yang sejak tadi menangis di pelukan bu Aisyah.
“Bobi, Bobi percaya kan sama kakak. Bobi percaya kan ?” kataku berharap.
Tapi ia terus saja menangis tanpa mengatakan sepatah kata pun.
“bobi .. kamu juga tidak percaya pada kakak ?” kataku lembut dan menjauh darinya.
‘plak’ tamparan keras mendarat di pipi kanan ku, seorang ibu – ibu keluarga korban menamparku dengan penuh kemarahan. Rasanya akan hilang, tak sebanding dengan kekecewaan yang ku rasakan terhadap bu Aisyah dan pak Rasyid juga Bobi. Aku hanya butuh kepercayaan dari mereka, hanya itu tidak lebih. Tetapi semua nihil, tak ada satu orang pun yang mempercayai ucapanku. Andai saja pendeta tua itu masih hidup, pasti ia akan menjelaskan semuanya. Namun sudahlah, aku punya Allah dan Ia mengetahui segalanya.
            Seminggu sudah aku mendekam di penjara, menunggu sidang di meja hijau. Keluarga korban terus mendesak aparat untuk memberikan hukuman mati padaku.
Aku tidak peduli, bahkan di bunuh saat ini pun aku tidak peduli karena lebih baik aku mati daripada kehilangan kepercayaan dari orang – orang yang ku sayangi. Tapi seketika aku sadar, semua adalah kehendak Allah yang tak ada satu pun yang dapat mencegahnya. Aku harus bertahan dengan cobaan apapun, bukankah kesabaran yang sesungguhnya terletak di awal musibah bukan di pertengahan maupun di akhir. Aku pasti mampu menghadapinya karena Allah tidak mungkin membebani seseorang di luar batas kemampuan umat-Nya. Aku harus bertahan untuk mencari kebenaran dan mendapatkan keadilan. Beri aku kekuatan ya Allah. Hari telah berganti, pengadilan memutuskan hukuman seumur hidup untukku. Aku memang sengaja tidak meminta bu Aisyah ataupun pak Rasyid untuk membelaku, aku ingin mereka melakukannya atas dasar kecintaan mereka terhadapku tapi ternyata mereka tidak sama sekali menghiraukannya. Apa tuduhan ini sudah sangat menutup hati mereka, hingga tak peduli lagi terhadapku. Entahlah, aku tetap bersyukur karena Bobi akan tinggal bersamanya. Kejadian ini pun telah sampai ke telinga ustad Bumi dan Khanza, mereka pun datang menjengukku.
“mengapa baru sekarang kami mendengarnya ? mengapa setelah sidang berlangsung ? aku bisa menyewa pengacara untuk membelamu” kata Khanza peduli.
“tidak apa – apa mba, suatu saat nanti kebenaranlah yang akan menang” kataku pasrah.
“tapi manusia harus tetap berusaha Cal” tambah ustad Bumi menyarankan.
“aku tak peduli, bagiku kepercayaan adalah hal yang terpenting saat ini, terlebih kepercayaan dari orang – orang yang ku sayangi. Tapi kini aku telah kehilangan semua itu, jadi apa perlunya aku keluar dari penjara ini jika semua orang yang ku sayangi telah kehilangan kepercayaannya padaku” putus asa ku.
“aku percaya padamu, walaupun aku tidak begitu mengenalmu tapi hatiku meyakini kalau kamu tidak bersalah. Janganlah putus asa, tetaplah bertahan untuk sebuah kebenaran. Aku percaya padamu” katanya menguatkanku.
Apa ? Khanza percaya padaku ? aku seolah mendapatkan cahaya di tengah kegelapan yang kelam.
“apa ? kamu percaya padaku ? katakan sekali lagi, aku mohon ulangi sekali lagi” pintaku.
“aku percaya padamu, aku sangat percaya padamu wahai adikku” katanya sambil memeluk erat tubuhku.
“sabarlah sayang, wahai wanita yang solehah. Allah sedang mengujimu, meskipun begitu berat tapi aku yakin kamu akan mampu menghadapinya, aku percaya padamu, kamu tidak bersalah” tambahnya.
Aku terus menahan air mata yang hampir terjatuh di pipiku, tapi segera ku hapus dan menggantinya dengan senyum. Tatapan Khanza yang membuatku tenang, rasa yang tulus yang ia berikan padaku mampu memberikan kekuatan bagiku. Khanza dan ustad Bumi pamit pulang, sebelum pulang Khanza memberikan al quran dan mukena padaku dan ia berpesan kalau hanya inilah yang akan membuatku tenang, yang akan membuatku tetap bertahan. Ya Allah, terima kasih atas nikmat yang Kau berikan padaku. Ternyata penjara tak seperti yang ku bayangkan, aku merasakan ketenangan meski berada di dalam penjara. Di mana pun kita berada, sekali pun di ujung jurang semua akan terasa damai kalau kita selalu mengingat-Nya. Karena aku telah merasakannya, di dalam jeruji yang hanya berukuran 3 x 6 meter. Menurutku, ini hanyalah ujian ke imananku untuk meraih karunia Allah.
Jiwa seni ku pun hadir, aku mulai menulis sebuah buku yang berisi semua kisah hidupku.
“Calista, ada yang ingin bertemu” panggil seorang petugas.
Aku pun bangkit dan jalan mengikutinya. Betapa terkejutnya aku ketika melihat orang yang tak asing lagi bagiku. Om Marco dan tante Inge. Mereka terus saja memandangiku tajam.
“om Marco ? tante Inge?” sapaku.
“tak sudi aku mempunyai keponakan sepertimu, seorang pembunuh pendeta yang sangat agung” sindir tante Inge.
“langsung saja Calis, om dan tante menemuimu ingin membantumu keluar dari sini” kata om Marco meyakinkan.
“benarkah itu ?” senangku.
“tentu” jawab tante Inge sinis.
“terima kasih om, terima kasih tante” ucapku.
“dengan syarat” singkat tante Inge.
“syarat ? apa syaratnya tante ?” tanyaku penasaran.
“kembali ke agamamu yang dulu, kristen dan menjadi hamba Kristus yang suci” jelas tante Inge masih dengan sikap yang dingin.
astaghfirullah al adzim” kagetku.
“HENTIKAN! kami tidak ingin mendengarnya. Mudah bukan syarat yang kami berikan ?” bentak om Marco.
“tidak om, tidak tante. Calis tidak akan meninggalkan islam dan kembali ke jalan yang salah, tidak om tidak akan pernah” tegasku.
“terkutuk kau Calis, semoga bapa mengampuni dosa – dosamu. Anak durhaka, apa kau lupa bahwa kakekmu adalah seorang pendeta yang terkenal dan agung di perancis, Peter Paulus. Memalukan keluarga saja, kami akan mengeluarkanmu dari tempat hina ini jika kamu bersedia menjadi hamba Kristus kembali” desak tante Inge.
“tidak tante, TIDAK .. Calis akan menjaga akidah Calis sampai maut menjemput, Calis tenang dengan islam, Calis bahagia” kataku dengan nada tinggi.
“bahagia katamu ? mana Tuhan yang kau agungkan itu ? apa bisa ia mengeluarkanmu dari tempat yang hina ini ?” kata om Marco terus mengejekku.
“hanya kami yang dapat membantumu, kembalilah sayang” tambah tante Inge merendahkan nada suaranya.
“dimana om ? dimana tante ? dimana kalian saat mamah dan papah ku butuh kalian. Tante, masih ingetkah tante yang dengan kejam mengusir kami ? mamah tidak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa, tapi ternyata tante mengusir dan menghina kami padahal waktu itu mamah sedang sakit dan hujan sangat deras, masih inget kah tante ? dan om, kemana om saat kami butuh ? handpone tidak aktif, di kantor maupun di rumah om tidak dapat di ganggu, apa ini yang Tuhan kalian ajarkan tentang keluarga ? papah adalah kakak kandung kalian, tapi tak sedikit pun kalian peduli pada kami. Cukup kalian tahu, sejak kematian mamah aku kerja banting tulang, menjadi pelayan untuk tetap bertahan hidup. Apa pernah kalian mengkhawatirkan kami ? keponakan kalian. Apa pernah kalian bertanya, apakah aku dan Bobi sudah makan ? apa pernah ? lalu sekarang kalian datang mengatakan akan mengeluarkanku dari penjara, aku senang mendengarnya.
Tapi kalian tidak memiliki hak untuk mengubah kepercayaanku tentang islam. Tidak akan pernah” kataku mengingat semua hal yang terjadi bertahun – tahun lalu.
“percuma bicara dengannya, hatinya telah di kuasai setan. Mungkin umat islam telah mempengaruhinya” sindir tante Inge tanpa peduli ceritaku.
“hanya buang – buang waktu, mau di bantu tapi tidak bersedia. Kita pergi saja dari tempat hina ini” marah om Marco.
“TERKUTUK KAU PEMBUNUH, semoga bapa mengampunimu” ucap tante Inge.
Mereka pun berlalu meninggalkanku. Haruskah ku tinggalkan agama yang telah memberiku ketenangan ? tentu tidak. Hanya karena aku berada di penjara, tentu tidak. Tidak saat ini ataupun selamanya.
            Sehari setelah kedatangan om Marco dan tante Inge. Bu Aisyah dan pak Rasyid datang menemuiku. Ia bilang, semalam tante Inge dan om Marco mengambil Bobi. Dan bu Aisyah tidak dapat mencegahnya karena merasa tidak memiliki hak. Akhirnya mereka berhasil merebut Bobi. Aku sungguh tidak berdaya, aku hanya dapat mengeluarkan air mata mendengar cerita bu Aisyah dan pak Rasyid bergantian. Aku sangat mengenal sifat om dan tanteku yang selalu ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan. Aku pasrah menerima semua ini dan mencoba untuk tetap kuat. Bobi, semoga Allah selalu melindungimu. Kakak tak akan pernah berhenti berdoa untukmu. Usai memberikan kabar tersebut, mereka pamit pulang dan menyampaikan dua buah surat yang di kirim ke rumahku. Astaghfirullah,ternyata surat drop out dari kampusku dan surat pemecatan dari radio R2M. Ada juga selembar surat dari pak Yusuf.

Assalamualaikum Calista,
Aku minta maaf karena harus mengeluarkanmu dari R2M, karena aku tidak mau para pendengar kecewa dan beralih ke station lain. Aku pun tak menyangka kalau dirimu bisa melakukan hal serendah itu, sungguh membuatku sangat kecewa. Aku minta maaf karena tidak dapat menjengukmu karena ibuku sedang sakit – sakitan, semoga Allah mengampuni dosa – dosamu dan aku sangat senang sempat mengenal dirimu. Terima kasaih atas waktumu selama ini.

Muhammad Yusuf
Aku tak merasa sedih, namun sungguh peristiwa ini sangat mampu membuat semua orang mempercayainya dan menyalahkanku. Tetapi itu tidak menjadi masalah bagiku, mungkin mereka telah percaya dengan tuduhan itu dan merasa malu mengenalku. Aku pun tidak pernah menyesal telah membantu pendeta tua itu. Karena Allah yang menjadi saksi dari semuanya dan aku yakin semua akan ada akhirnya.
“hei kau” sapa seorang petugas padaku.
“ada apa pak ?” tanyaku sopan.
“aku bisa membebaskanmu dari sini, karena aku yang memegang kuncinya” tawarnya.
Aku tak menghiraukan, mungkin ia hanya iseng ingin mempermainkanku. Lagi pula aku tidak ingin kabur seperti seorang penjahat dan menjadi buronan. Naudzubillah hi min dzalik, petugas separuh baya itu terus saja menatapku.
“aku akan mengeluarkanmu jika kau mau menemaniku malam ini, hanya semalam saja” rayunnya.
astaghfirullah al adzim” ucapku.
Ujian apalagi ini ya Allah, ku mohon janganlah Kau coba aku di luar batas kesanggupanku.
“sampai mati pun, saya tidak akan pernah melepaskan kesucian saya. Bapak kan sudah berumur, dan pasti telah memiliki seorang anak apa bapak tidak berfikir kalau anak bapak berada di posisi saya ? demi Allah pak, saya tidak akan pernah memberikan kesucian saya sebelum saya menikah. Saya akan menjaganya sekalipun nyawa saya taruhannya.” Jelasku sambil terus menatap matanya tajam.
Entah apa yang ia pikirkan, wajahnya tertunduk malu dan diam seribu bahasa.
“maafkan saya de” ucapnya.
Apa yang telah ku katakan, apa selemah itu dirinya. Mungkin ia memang orang baik yang mulai tertarik dengan diriku. Tapi syukurlah Allah masih melindungiku.
“tidak apa –apa pak” kataku lembut sambil memberinya senyum.
Ia mulai bertanya mengapa aku berada di sini, aku pun menceritakannya. Dari matanya ku lihat kebaikan yang membuatku percaya untuk berbagi cerita dengannya. Ternyata ia memiliki seorang putri yang masih SMA, dan kata – kataku telah menyentuh hatinya dan mengingatkannya pada putrinya. Jujur aku tidak tahu sama sekali kalau ia memang memiliki seorang anak perempuan, hanya kebetulan saja mungkin. Bapak itu sungguh lucu dan suka melawak hingga terkadang membuatku tertawa dan melupakan kesedihankku sejenak. Aku sadar, betapa nikmat Allah terlalu besar untukku. Aku pun tak berhenti terus menulis tentang kisahku, dan mengaji tentunya. Membaca al quran yang di berikan Khanza istri ustad Bumi. Hatiku sangat tenang, jiwaku tentram dan hidupku damai meski begitu banyak penderitaan yang ku lalui. Sejak memeluk islam bertahun – tahun dan semakin mendalaminya aku dapat dengan lancar membaca al quran dan kadang kala aku menjadi narasumber dalam acara kampus. Dari awal siaran pun aku selalu memberikan solusi – solusi yang sangat di terima oleh masyrakat tapi semua berubah saat kesalah pahaman itu terjadi. Aku pun terus berusaha ikhlas menerimanya.
            Tahun telah berganti, lima tahun sudah aku berada di sini, menerima hukuman yang tidak pernah ku lakukan kesalahannya. Buku yang ku tulis telah selesai dan ku beri judul CALISTA namun hanya berakhir sampai kisahku di penjara.
“Calista, kau bebas” kata petugas penjara tegas.
Pak Doni, bapak petugas yang selalu menghiburku terkejut dan senang mendengarnya.
“apa ? bisa di ulang pak ?” tanyaku sungguh tak percaya.
“kamu bebas” ulangnya dengan suara yang begitu lantang.
“benarkah ? alhamdulillah” ucapku dan bersujud syukur mendengarnya.
Pengacara korban, bercerita kalau tersangka utamanya telah tertangkap karena keluarga korban menyewa seseorang untuk menyelidiki kasus ini. Tersangkanya adalah keluarganya sendiri yang menginginkan harta warisan serta uang yang di bawa korban malam itu. Semua pihak keluarga meminta maaf melalui surat karena mereka merasa sangat malu kepadaku. Mereka pun memberikan uang sebesar satu milyar padaku dengan harapan dapat membuatku memaafkan mereka. Tetapi uang tersebut ku serahkan pada panti asuhan tanpa ku potong sepersen pun. Menurutku, ini sudah cukup. Rumah pertama yang ku datangi adalah rumah keluarga pendeta tua itu, aku ingin mengucapkan terima kasih karena telah membebaskanku dan menyampaikan kepada mereka kalau aku sudah sejak awal memaafkan mereka.
“maafkan kami nak” ucap seorang ibu yang menamparku tempo lalu dengan penuh penyesalan.
“tak apa bu, sudah sejak awak aku memaafkan kalian” ucapku lembut.
“katakan pada kami, apa yang harus kami lakukan untuk menebus kesalahan kami ?” tanya salah seorang dari mereka.
“tidak perlu pak, saya ingin mengucapkan terima kasih karena bapak sekeluarga telah membebaskan saya. Dan telah mengungkapkan kebenaran, saya pun turut berduka cita atas meninggalnya bapak yang kalian cintai” kataku peduli.
“sungguh mullianya hatimu nak, aku merasa sangat bersalah. Tamparlah pipiku sesuka hatimu sebagai balasan tamparan yang ku berikan padamu tempo lalu. Tamparlah aku” kata ibu yang terus saja merasa bersalah.
Aku tak mampu berkata apa pun, aku hanya dapat memeluknya hangat. Bagiku ini sudah sangat cukup. Usai berkunjung ke rumah pendeta tersebut, aku pamit pulang dan mengucapkan terima kasih untuk ke sekian kalinya.
Ku hirup lagi udara segar yang menemani langkahku. Setibanya di rumah, semua masih sama seperti saat terakhir ku tinggalkan. Bu Aisyah dan pak Rasyid tiada henti meminta maaf padaku karena tidak mempercayai perkataanku waktu itu. Mereka merasa sangat malu dan bersalah, tapi biarlah semua menjadi pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga dalam hidupku. Setelah istirahat beberapa waktu, aku mengunjungi rumah tante Inge dan om Marco untuk mencari Bobi. Tapi hasilnya nihil, Bobi tidak ada di rumah keduanya. Lantas dimana ia sekarang ? apa yang terjadi dengannya ? bukankah om Marco dan Tante Inge yang mengambilnya. Ya Allah, jagalah ia selalu.
Sambil terus mencari Bobi, aku kembali kuliah dan mereka semua pun menerima ku kembali dengan penjelasanku serta membawa surat pernyataan dari keluarga korban bahwa aku tidak bersalah. Aku pun di beri kesempatan lagi karena hanya tinggal menyusun skripsi saja. CALISTA, buku yang ku tulis di penjara ku berikan pada salah satu penerbit dan mereka tertarik ingin menerbitkannya. Sungguh, setelah kesulitan akan ada kemudahan. Alhamdulillah,buku karanganku menjadi salah satu buku best seller saat ini. Radio R2M pun meminta ku kembali untuk menjadi penyiar, tapi dengan berat hati aku menolaknya. Aku sempat meminta izin siaran satu kali, hanya untuk mencari Bobi. Tetapi hasilnya tetap nihil, Bobi tidak berhasil ku temukan. Apa yang harus ku lakukan, aku pun tiada henti berdoa meminta petunjuk pada sang Khalik.
            Sudah hampir satu tahun aku bebas, namun Bobi tetap tak dapat ku temui. Aku pun telah menyelesaikan kuliahku. Malam ini ada pengajian di rumah bu Aisyah, ba’da isya aku telah hadir untuk mengikuti pengajian. Di sudut pintu rumah bu Aisyah ku lihat sosok pria yang begitu tampan yang duduk bersebelahan dengan pak Rasyid, tatapannya mengingatkanku pada saat pertama kali melihat ustad Bumi. Tak sengaja mata kami bertatapan, jantungku berdetak tak karuan. Apa artinya ini ? cinta yang telah lama hilang kini telah kembali mengisi hatiku. Ku alihkan pandanganku pada al quran yang ku pegang, namun sesekali mata ini ingin memandangnya. Astaghfirullah al adzim, ampuni aku ya Allah. Wajahnya sangat mempesona, senyum yang mengembang di bibirnya semakin menambah ketampanan wajahnya. Siapa ia ? ingin sekali aku mengenalnya. Tubuhnya lumayan tinggi dan tidak gemuk. Potongan rambutnya cepak dan ada kumis serta jenggot tipis yang menghiasi wajahnya. Pemuda itu sungguh tampan, dari matanya ku lihat pancaran sinar yang meronai ke imanannya. Pengajian telah selesai, semua tamu saling berpamitan dan meninggalkan rumah bu Aisyah. Namun tidak dengan pemuda itu, ia tetap tinggal bersamaku, bu Aisyah dan pak Rasyid. Usai membantu bu Aisyah merapikan rumah, aku pamit untuk pulang.
“sebentar nak” ucap pak Rasyid.
“kenalkan, ini adalah Ziad Husein asisten bapak” tambahnya sambil mengenalakanku pada pemuda yang sejak tadi membuatku penasaran.
“Calista” sapaku ramah.
“Ziad” ucapnya dengan senyum.
“baiklah kalau begitu, Calis pamit pulang pak karena sudah sangat larut” pamitku pada pak Rasyid.
“iya, terima kasih ya nak telah membantu kami” ucap pak Rasyid.
“sama – sama pak, salam buat bu Aisyah” kataku dan pergi meninggalkan mereka usai mengucapkan salam. Bu Aisyah masih sibuk merapikan rumah, tetapi aku sudah selesai membantunya dan di izinkan untuk pulang.
Ziad Husein, sungguh membuatku tak dapat tidur malam ini. Tatapannya sangat membuatku tenang, seperti tatapan yang di berikan ustad Bumi namun berbeda karena tatapan ustad Bumi saat itu hanya menganggapku seorang adik. Ya Allah, semoga saja aku tak salah jika mencintainya. Izinkanlah aku untuk mencintainya, menjadi istrinya dan bersatu dalam ikatan yang halal. Dan jadikanlah ia suamiku jika memang ia yang kau ciptakan untukku, namun peliharalah aku dari rasa kekecewaan jika ia bukanlah jodohku dan hilangkanlah perasaan yang mulai hadir ini sebelum terlalu jauh aku menyimpannya. Sesungguhnya Engkau lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hamba-Mu.
Pagi ini, bu Aisyah dan pak Rasyid berkunjung ke rumahku, ia menyampaikan keinginan Ziad untuk melamarku. Subhanallah, Maha suci Engkau ya Allah yang telah mendengarkan doaku. Ia adalah seorang pria soleh, yang sederhana. Asistennya pak Rasyid, dan beliau sangat menenalnya. Ia telah cukup ilmu tentang pernikahan dan juga telah memiliki rumah serta usaha yang tetap. Usianya dua puluh delapan tahun, dan dia seorang anak yatim piatu. Tetapi sangat bijaksana dan berwibawa. Memiliki sifat penyayang dan kepedulian yang tinggi, itu cerita yang ku dengar dari pak Rasyid yang sejak lama mengenalnya. Pertama kali melihatnya, aku merasakan rasa yang sama ketika aku bertemu dengan ustad Bumi. Dan semoga saja ia adalah jodoh yang tepat untukku. Amin.
“aku tidak kaya dan bergelimang harta, namun aku akan berusaha membuatmu bahagia” katanya rendah hati.
“itu tidak penting buatku, yang terpenting kakak dapat menjadi imam dalam hidupku dan bertanggung jawab sampai tua kelak” kataku sopan.
“insya Allah” tegasnya.
            Sebulan setelah pertemuan itu, pernikahan pun di langsungkan. Sepertinya saat ini aku tengah merasakan apa yang Khanza rasakan. Absennya Bobi dalam acara pernikahanku menjadi kesedihan teramat dalam di hatiku. Semoga saja Allah selalu melindunginya. Amin.
Ucapan demi ucapan menghampiriku, aku turut mengundang Gilang dan temannya, anak – anak yang selalu menemaniku menjaga warnet dan selalu memanggilku kakak cantik. Aku pun mengundang om Marco dan tante Inge namun mereka tidak sama sekali terlihat batang hidungnya. Tetapi tak mengurangi kebahagiaanku. Ustad Bumi dan Khanza Zahira hadir bersama kedua putra putrinya. Betapa besar nikmat yang telah ku terima sampai detik ini. Sejak menikah, aku memutuskan untuk tinggal bersama Ziad suamiku di Yogya. Kami menjalani bisnis pempek yang telah lama menjadi sambilan Ziad sejak menjadi asistennya pak Rasyid. Ziad pun telah berhenti menjadi asisten dosen dan fokus pada usahanya yang semakin maju. Kini, pempek kami telah memiliki beberapa cabang di beberapa daerah di Indonesia. Memasuki bulan ke sepuluh pernikahan kami, aku telah mengandung. Betapa sempurna kebahagiaan yang ku rasakan. Aku pun tak pernah lelah untuk terus mencari Bobi, walupun tak pernah ada hasilnya.
“sayang, kenapa belum tidur ?” tanya Ziad terbangun dari tidunya.
“aku teringat pada adikku, apa ia masih hidup ?” jawabku lemah.
astaghfirullah, percayalah Allah akan selalu melindunginya. Mari kita sholat qiyamul lail agar membuat hatimu tenang” ajaknya.
Kami pun mengerjakan sholat berjamaah dan membuat perasaanku sedikit tenang.
Waktu telah menunjukan pukul tiga pagi, tetapi mataku belum juga mengantuk. Sedangkan suamiku sudah tertidur lelap. Saat aku ingin bangkit dari tidurku.
“sayang” ucap Ziad sambil memelukku erat.
“tidurlah, kasihan anak kita” tambahnya.
Aku pun menurutinya, dan kembali berbaring di sebelahnya. Ayam telah berkokok, dan suara adzan telah berkumandang.
“jangan terus menjadi pikiran, aku tidak mau kamu sakit” katanya sambil menatapku.
“tidak sayang, aku hanya teringat padanya” bohongku menenangkannya.
“baiklah kalau begitu, aku pergi dulu. Jaga kesehatanmu” katanya sambil mencium keningku.
“assalamualaikum” ucapnya dan pergi meninggalkanku.
“waalaikum salam warohmatullahi wabarakatuh” jawabku.
Setelah selesai merapihkan rumah, aku memutuskan untuk ke kedai pempek yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Setelah mendapatkan izin dari Ziad, aku pun pergi meninggalkan rumah.
“assalamualaikum bu” sapa para pegawai ramah.
“wa alaikum salam warohmatullahi wabarokatuh” jawabku sopan.
Aku pun mulai membantu melayani para pembeli yang datang silih berganti.
“mba, saya pesan satu saja yah yang kapal selam” pinta seorang pemuda sambil terus membaca sebuah buku di tangannya.
“baik mas, tunggulah sebentar” ucapku.
Pemuda itu terdiam mendengar suaraku dan mengalihkan pandangannya ke arahku.
subhanallah, kak Calis” sapanya.
Tanpa berkata apa pun, ku tatap matanya. Aku mengenalinya, sangat mengenalnya. Air mata ku pun jatuh dengan sendirinya. Bobi, hanya ia yang memiliki tatapan seperti ini. Hanya Bobi seorang.
“kak Calis, ini Bobi kak, Bobi adiknya kakak” tambahnya.
Aku langsung mendekapnya erat. Setelah beberapa saat, kami pun duduk di pojok kiri ruangan.
“Om Marco mengirim Bobi ke perancis dan bersekolah di sana, Bobi di suruh kembali ke agama Kristen kak, Bobi pun setuju namun diam – diam di sana Bobi tetap menjadi seorang muslim dan tetap menjalankan kewajiban yang di tetapkan islam. Bobi selalu ingat kakak, Bobi sangat merindukan kakak, nasi goreng buatan kakak, senyuman kakak, dan semua hal yang ada pada diri kakak. Om Marco bilang, kalau kak Calis sudah meninggal. Bobi sangat sedih dan merasa kesepian. Bobi terus sekolah dan mengaji di sana. Syukurlah Bobi bertemu dengan beberapa cendekiawan muslim dan mendalami islam secara diam – diam. Bobi pun melarikan diri dari asrama dan tinggal di rumah teman Bobi yang seorang muslim. Bobi ikut bersamanya, keluarganya sangat baik dan sekarang Bobi sudah lulus sekolah kak dan berniat melanjutkan kuliah sambil kerja di Jakarta, tapi saat Bobi kembali ke rumah kita bu Aisyah bilang kak Calis sudah menikah dan menetap di Yogya, makanya Bobi berada di sini untuk mencari kakak” ceritanya begitu lancar.
Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Aku terus menatapnya, menatapnya sungguh tidak percaya kalau Bobi adikku yang malang kini berada di hadapanku. Malaikat kecil yang selalu menemani hari – hariku, tatapan polos dan wajah lugu yang selalu menyambutku di pagi hari. Bertahun – tahun sudah aku jauh darinya, dari tatapannya dan dari pelukannya yang selalu membuatku merasa kuat. Kini ia telah tumbuh besar, menjadi seorang remaja yang begitu tampan. Betapa besar penderitaan yang telah di alaminya sejak kecil. Temanku saat duka dan suka, satu – satunya orang yang ku miliki, kini ia ada di hadapanku. Sekian lama aku mencarinya bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Rambutnya kini telah lebat tidak botak seperti dulu. Jemarinya kini telah kuat menggenggamku tidak seperti dulu yang masih sangat kecil, tingginya pun telah melebihi tinggi badanku. Ini kah Bobi ku ? Bobi malaikat kecilku ? Bobi yang selalu memuji nasi goreng buatanku, Bobi yang selalu membuatku untuk bertahan. Subhanallah, Maha suci Engkau ya Rabb.
“bobi, kemarilah ! biarkan kakak tetap memelukmu” pintaku.
Bobi pun mendekapku dengan sangat erat.
“janganlah pernah lagi jauh dari kakak” ucapku.

SEBELAS
            Sempurnalah kini kebahagiaanku, Bobi telah kembali dan tinggal bersamaku. Ziad pun sangat senang dan mengizinkan Bobi untuk tinggal bersama kami. Bobi bekerja sebagai pegawai di salah satu kedai pempek Ziad, Ziad pun tidak mengistimewakannya agar Bobi dapat berusaha dengan baik. Ia bekerja sambil kuliah, mengikuti jejak ku dulu. Aku pun telah memiliki seorang putra yang ku beri nama Al fitrah Pratama dan Tama panggilannya. Amanah Allah yang sangat lucu dan mungil, Ziad sangat senang. Ia merasa telah sempurna kebahagiaan dalam hidupnya. Sungguh, dengan islam aku tenang.
“kak, bobi mau bilang makasih sama kakak” ucap Bobi.
“kenapa tidak dari dulu ?” ledekku.
“kak Calis...” malunya.
“tentu adikku sayang, sudah banyak sekali hal yang kita lalui bersama. Kamu adalah kekuatan untukku, malaikat kecilku yang selalu menemani hari – hariku” kataku sambil membelai rambutnya.
“kak Calis juga kekuatan Bobi, kakak sudah berhasil menjadi mamah dan papah untuk Bobi. Lihatlah Bobi saat ini, Bobi sudah menjadi mahasiswa dan itu semua karena usaha kakak. Bobi sangat sayang sama kakak, sangat” ucapnya dan memeluk erat tubuhku.
Malam telah berganti pagi, aku tak pernah merasa takut lagi menghadapi pagi yang telah menyapa. Hari – hariku bagaikan desiran ombak di pantai yang bernyanyi merdu menyambut pagi. Tama, Ziad dan Bobi telah melengkapi kebahagiaanku. Usai mengantar Ziad untuk pergi bekerja dan di susul Bobi yang pamit untuk ke kampus, aku bersama Tama merapikan rumah dan bermain bersama. Alangkah besarnya karunia – Mu ya Allah.
“mana adikmu ?” tanya Ziad dengan nada tinggi tanpa mengucap salam.
“ada apa ini kak?” tanyaku heran.
Ziad pulang dengan amarah yang menggebu – gebu bersama beberapa pegawai di kedainya. Apa yang terjadi sebenarnya.
“ada apa wahai suamiku ? Bobi belum pulang, bukankah ia ke kedai pulang kuliah tadi ?” bingungku.
“ia telah mencuri uang di kedai hari ini” tuduh Ziad marah.
“tidak mungkin, adikku tidak mungkin melakukan hal itu” ucapku tak percaya.
“assalamualaikum” ucap Bobi dan langsung mencium tanganku.
“lepaskan” bentak Ziad saat Bobi ingin mencium tangan Ziad.
astaghfirullah, ada apa ini mas ?” bingung Bobi.
“kak Cal, kenapa sama mas Ziad ?” tanyanya semakin bingung.
Aku terdiam dan menghampirinya untuk menenangkannya.
“mana uang yang kamu ambil dari kedai ku ?” tuduh Ziad kasar pada Bobi.
“uang ? uang apa mas ? aku tidak mengerti” ucap Bobi melemah.
“dasar pencuri” bentak Arman salah seorang pegawai di kedai Ziad yang bekerja bersama Bobi.
“Arman, apa yang kamu ucapkan ? aku sungguh tidak mengerti” bingung Bobi.
Aku melihat kejujuran di matanya, adikku yang malang ada apa ini ? tatapannya yang polos beralih ke arahku.
“kak Cal, Bobi tidak mengerti” bingungnya sambil menghampiriku.
“buka tasnya” perintah Ziad pada Arman.
Arman pun memeriksa tas yang ada di tangan Bobi, Astaghfirullah al adzim betapa terkejutnya aku saat melihat sejumlah uang yang di dapati berada di dalam tas Bobi. Apa mungkin adikku pelakunya ? tidak, ia tidak mungkin melakukan hal ini. Tidak mungkin adikku menjadi seorang pencuri.
“demi Allah kak, Bobi tidak mengambil uang itu. Demi Allah kak” ucap Bobi meyakinkanku.
“DIAM KAU, pergi dari rumahku atau ku masukan kamu ke dalam penjara” bentak Ziad sangat marah.
“jangan kak, demi Allah jangan lakukan hal itu. Tenangkanlah hatimu, adikku tidak mungkin melakukan hal itu” kataku dan isak tangispun pecah mengiringi suaraku.
“buktinya sudah jelas, adikmu yang mencuri uang itu. Kami semua yang ada di sini melihatnya” kata Ziad tetap dengan nada tinggi.
“Bobi di fitnah kak, ini fitnah” ucap Bobi membela diri.
“PERGI” bentak Ziad mengusir Bobi.
            Setelah kepergian Bobi, tak ada lagi canda dan tawa yang mengisi hari – hariku. Adik yang selama ini selalu ku cari dan kali ini ia telah di usir di hadapanku, namun aku tak dapat berbuat apapun untuk membelanya. Di satu sisi ada Ziad suamiku, namun di sisi lain ada Bobi adikku tersayang. Apa yang harus aku lakukan ? bobi, maafkan kakak. Maafkan kakak. Aku selalu mencoba tersenyum meski hatiku selalu menangis, aku ingin menjadi seorang wanita dan istri solehah yang patuh akan perintah suaminya. Entah dimana Bobi saat ini, semoga Allah selalu menjagamu. Hari telah berganti, bulan dan tahun pun terus berjalan. Lima tahun sudah Bobi meninggalkan kami. Sebulan setelah fitnah yang di terima Bobi, kebenaran pun terungkap. Ziad sangat menyesali sikapnya saat itu, Bobi telah di fitnah oleh Arman teman kerjanya di kedai. Ia merasa iri dengan kebaikan Bobi yang membuat semua orang sangat menyayangi dan menghormatinya. Sejak saat itu hingga kini Ziad tak pernah berhenti mencari Bobi. Ia sungguh merasa bersalah padanya.
“sudah lah kak, jangan terlalu lelah mencari Bobi. Gimana kalau besok kita berkunjung ke Jakarta ke rumah Pak Rasyid dan Bu Aisyah ?” kataku menghiburnya.
“maafkan aku Cal” kata – kata itu selalu keluar dari mulutnya.
“sudahlah kak, sudah” kataku melemah.
“baiklah, besok kita ke Jakarta. Sekarang mari kita tidur” ucapnya mengalihkan pembicaraan.
“kalau suatu saat nanti aku tak sempat bertemu dengan adikmu, tolong sampaikan permintaan maafku dan rasa penyesalanku agar hatiku bisa merasa tenang” ucapnya sebelum tidur.
Aku tak menjawabnya, dan berpura – pura telah lelap tertidur. Aku pun sangat merasa bersalah pada Bobi, tapi aku juga tidak bisa menyalahkan Ziad yang tidak mengetahui kebenarannya di awal.
            Pagi telah menyapa, aku dan Ziad beserta Tama telah siap untuk ke Jakarta. Entah perasaan apa yang ku rasa, sungguh sulit ku ungkapkan. Hatiku merasa tidak tenang, namun ku coba menepiskannya. Sepanjang perjalanan Tama terus menangis, entah pertanda apa ini. Astaghfirullah aku tetap bersikap tenang.
Namun ...
Pandanganku gelap, yang ku lihat hanya langit – langit asing yang tak pernah ku lihat. Ku alihkan pandangan ku ke arah suara yang begitu membuat hati tentram.
Astaghfirullah, ada apa dengan suara ku. Sulit sekali untuk mengeluarkan kata – kata.
“subhanallah, Calista” ucap Khanza menghentikan lantunan ayat al quran yang di bacanya.
Ada apa dengan suaraku, aku tidak dapat berbicara. Kaki ku pun sulit di gerakan, ada apa sebenarnya ? Ziad, dimana Ziad ? Tama, anakku dimana ia ? Khanza mencoba membuatku tenang. Apa ? apa yang sebenaranya terjadi ? ingin sekali aku berteriak tapi sangat sulit.
“sabar Calis, sabar” ucapnya di iringi tangisan yang mulai pecah.
Tak lama kemudian, ustad Bumi datang bersama pak Rasyid dan bu Aisyah. Mereka terus berusaha membuatku tenang.
            Seminggu sudah aku pulang ke rumah, Khanza dan ustad Bumi serta pak Rasyid dan bu Aisyah pun menginap di rumahku. Secara perlahan mereka mulai menceritakan semua yang terjadi, sebulan sudah aku terbaring di rumah sakit. Dan ketika aku terbangaun, kenyataan pahit yang harus ku terima. Ziad telah pergi bersama Tama karena kecelakaan yang menimpa kami saat ingin ke Jakarta. Ya Allah, aku yakin ini adalah kehendak – Mu. Namun aku sungguh merasa lemah atas semua cobaan – Mu ini. Mengapa tak Kau ambil saja diriku bersama suami dan anakku. Air mata tak hentinya membasahi pipiku saat ku lihat dua batu nisan di hadapanku. Sungguh, tak kuasa aku menahannya. Dapatkah aku melanjutkan hidup tanpa mereka ? dengan keadaanku saat ini ? tak dapat berbicara dan hanya duduk di kursi roda. Namun semua ini telah tersusun rapih dengan izin – Nya. Sabar, itu adalah satu – satunya cara dalam menghadapi semua ini. Perlahan aku pasti akan dapat melaluinya. Memang ini sangat sulit namun sulit bukan berarti tidak bisa. Aku selalu mencoba tersenyum di balik tangisan hati yang selalu menjerit. Ini adalah sebuah ujian dan setiap ujian pasti ada hasil yang akan di peroleh. Malam yang damai membuat hatiku tenang, usai sholat isya berjamaah. Ustad Bumi dan Khanza beserta anak mereka mengajakku menyusuri kota Yogyakarta yang begitu indah. Dari keramaian, ku lihat sosok yang tak asing bagiku. Bobi, ia adalah Bobi. Ingin sekali berteriak namun percuma. Aku mencoba memberitahu Khanza dan ustad Bumi, namun mereka tak memahami maksudku. Air mata mulai jatuh membasahi pipiku, aku terus berusaha untuk memanggil Bobi. Namun sungguh sulit. Kaki ku pun tidak dapat berlari untuk memeluknya. Hingga aku terjatuh dari roda yang sejak tadi menahanku, BOBI ... BOBI .. BOBI ... teriakku berkali – kali. Semua mata memandang ke arahku. Dan suara ku pun sampai pada Bobi yang melihat dan berlari mendekapku erat. Terima kasih ya Allah.
“kak Calis” katanya sambil terus memelukku.
Aku tak dapat lagi berkata apa pun, ini sudah menjadi kebahagiaan yang cukup untukku.
“jangan pernah tinggalin kakak lagi, kakak mohon” ucapku.
“kakak” sapanya begitu lembut.
            Kini, aku tinggal bersama Bobi. Kembali berdua dan bertahan hidup untuk menjalani apa yang harus di jalani.
“mas mu bilang, ia minta maaf atas apa yang pernah ia lakukan padamu” ucapku pada Bobi adik yang selalu menjadi kekuatanku.
“Bobi sudah memaafkannya kak sejak awal, Bobi tak ingin lagi jauh dari kakak” katanya sambil memelukku erat.
“terus lah peluk kakak mu ini” ucapku.
“lihat kak, lampu – lampu ini terlihat biasa saja saat siang hari. Tapi kakak lihat sekarang, lampu – lampu ini sungguh terlihat indah di malam hari. Memancarkan cahaya yang membuat gemerlap di dalam kegelapan. Itulah waktu kak, semua sudah ada saatnya. Dan semua akan indah pada saatnya, sesuai dengan apa yang telah di tentukan. Dan saat itu pasti akan datang” ucapnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar