“Ma, Nung mau beli mie ayam
‘keling’.” Malam itu, sekitar abis isya, sepulang ngaji, rengekan itu masih
melekat di benak gue. Rengekan anak berusia delapan tahunan.
“Iya kang, aku juga.” Laki-laki
kecil yang sejak tadi terdiam di balik pintu rumah kontrakkan tiga petak itu
ikut bersuara.
Mendengar rengekan dua anak kecil
di hadapannya, ibu muda itu terlihat miris. Namun apa daya, ia tidak memiliki
cukup uang untuk membelikan dua mangkok mie ayam. Jangankan untuk dua mangkok,
satu mangkok pun tak terjangkau.
“Mama enggak punya uang, nunggu
bapak pulang ya.” Kata ibu muda itu menenangkan. Dua bocah itu terdiam, tak
lagi merengek.
“Yaudah ming, kita nonton layar
tancepnya aja yuk.” Kata bocah perempuan yang masih menahan lapar. “Ma, nanti
kalo Bapa pulang panggil kita yah.” Tambah bocah perempuan itu pada ibu muda
yang mengenakan daster. Ibu muda itu mengangguk tanpa berkata apapun. Mungkin,
ia hanya tidak ingin mengatakan atau menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Oleh
karena itu ia memilih diam, membiarkan dua bocah kesayangannya berlari girang
keluar rumah.
Layar tancap, sekarang-sekarang
ini gue jarang nemuin momen tersebut. Layar tancap, sebuah tontonan warga yang
diadakan ketika ada suatu acara hajat macam pernikahan atau sunatan.
Satu bocah diantara keduanya
menghentikan langkahnya di balik tenda mie ayam yang terlihat sangat ramai.
Pembelinya rela menunggu antrian dengan sabar. Bangku panjang yang ada didalam
tenda tersebut penuh. Nyaris semuanya menikmati menu yang tersedia. Semangkok
mie ayam, ataupun mie ayam bakso.
“Nung, sini .. kita sini aja.
Cium deh, wangi ya.” Bocah laki-laki itu memanggil bocah perempuan yang
melangkah lebih dulu untuk melihat film yang sedang diputar. Bocah perempuan
itu pun menghentikan langkahnya, lalu keduanya tenggelam dalam wangi kaldu ayam
yang meluap dari warung tenda yang masih sangat ramai tersebut.
Lama. Dua bocah itu mematung di
balik tenda, berjalan sedikit ke belakang gerobak agar dapat mencium aroma itu
lebih jelas. Keduanya menelan ludah berkali-kali, nyanyian yang bermain di
dalam perut keduanya membenarkan kelaparan mereka.
“Kita pulang aja yuk ming, siapa
tau bapak udah pulang.” Ajak bocah perempuan itu, tapi sebelumnya mereka
membeli seikat kacang kedelai rebus seharga Rp. 500,00.
Ah, dua bocah itu lagi-lagi harus
menggigit jari karena ternyata, laki-laki dewasa yang diharapkannya belum juga
pulang. “Ma, bapak belum pulang ?” Tanya bocah perempuan itu sedikit gelisah.
Dan, apa yang sedang dilakukan bocah satunya lagi ? Oh, ya Allah .. bocah
laki-laki itu mengambil dua buah mangkok dari dapur. Satu mangkoknya diberikan
ke bocah perempuan yang saat itu sedang duduk bertanya pada ibunya.
“Ih Aming, bapak belum pulang.
Kok udah ngambil mangkok ?” bocah perempuan itu terlihat judes, tapi akhirnya
ia kembali berkata “yaudah sini, kita tidur dulu yuk.” Bocah perempuan itu
mengajak bocah laki-laki yang memang setahun lebih muda darinya untuk masuk
kedalam kontrakkan tiga petak itu. “Ma, nanti kalo bapak udah pulang, bangunin
Nung sama Aming ya.” Pesan bocah perempuan itu sebelum terlelap. Terlelap dalam
keadaan lapar sambil memeluk mangkok kosong. Ah, miris sekali.