Sabtu, 12 Oktober 2013

AMING


“Ma, Nung mau beli mie ayam ‘keling’.” Malam itu, sekitar abis isya, sepulang ngaji, rengekan itu masih melekat di benak gue. Rengekan anak berusia delapan tahunan.

“Iya kang, aku juga.” Laki-laki kecil yang sejak tadi terdiam di balik pintu rumah kontrakkan tiga petak itu ikut bersuara.
Mendengar rengekan dua anak kecil di hadapannya, ibu muda itu terlihat miris. Namun apa daya, ia tidak memiliki cukup uang untuk membelikan dua mangkok mie ayam. Jangankan untuk dua mangkok, satu mangkok pun tak terjangkau.
“Mama enggak punya uang, nunggu bapak pulang ya.” Kata ibu muda itu menenangkan. Dua bocah itu terdiam, tak lagi merengek.
“Yaudah ming, kita nonton layar tancepnya aja yuk.” Kata bocah perempuan yang masih menahan lapar. “Ma, nanti kalo Bapa pulang panggil kita yah.” Tambah bocah perempuan itu pada ibu muda yang mengenakan daster. Ibu muda itu mengangguk tanpa berkata apapun. Mungkin, ia hanya tidak ingin mengatakan atau menjanjikan sesuatu yang tidak pasti. Oleh karena itu ia memilih diam, membiarkan dua bocah kesayangannya berlari girang keluar rumah.

Layar tancap, sekarang-sekarang ini gue jarang nemuin momen tersebut. Layar tancap, sebuah tontonan warga yang diadakan ketika ada suatu acara hajat macam pernikahan atau sunatan.
Satu bocah diantara keduanya menghentikan langkahnya di balik tenda mie ayam yang terlihat sangat ramai. Pembelinya rela menunggu antrian dengan sabar. Bangku panjang yang ada didalam tenda tersebut penuh. Nyaris semuanya menikmati menu yang tersedia. Semangkok mie ayam, ataupun mie ayam bakso.
“Nung, sini .. kita sini aja. Cium deh, wangi ya.” Bocah laki-laki itu memanggil bocah perempuan yang melangkah lebih dulu untuk melihat film yang sedang diputar. Bocah perempuan itu pun menghentikan langkahnya, lalu keduanya tenggelam dalam wangi kaldu ayam yang meluap dari warung tenda yang masih sangat ramai tersebut.
Lama. Dua bocah itu mematung di balik tenda, berjalan sedikit ke belakang gerobak agar dapat mencium aroma itu lebih jelas. Keduanya menelan ludah berkali-kali, nyanyian yang bermain di dalam perut keduanya membenarkan kelaparan mereka.
“Kita pulang aja yuk ming, siapa tau bapak udah pulang.” Ajak bocah perempuan itu, tapi sebelumnya mereka membeli seikat kacang kedelai rebus seharga Rp. 500,00.

Ah, dua bocah itu lagi-lagi harus menggigit jari karena ternyata, laki-laki dewasa yang diharapkannya belum juga pulang. “Ma, bapak belum pulang ?” Tanya bocah perempuan itu sedikit gelisah. Dan, apa yang sedang dilakukan bocah satunya lagi ? Oh, ya Allah .. bocah laki-laki itu mengambil dua buah mangkok dari dapur. Satu mangkoknya diberikan ke bocah perempuan yang saat itu sedang duduk bertanya pada ibunya.
“Ih Aming, bapak belum pulang. Kok udah ngambil mangkok ?” bocah perempuan itu terlihat judes, tapi akhirnya ia kembali berkata “yaudah sini, kita tidur dulu yuk.” Bocah perempuan itu mengajak bocah laki-laki yang memang setahun lebih muda darinya untuk masuk kedalam kontrakkan tiga petak itu. “Ma, nanti kalo bapak udah pulang, bangunin Nung sama Aming ya.” Pesan bocah perempuan itu sebelum terlelap. Terlelap dalam keadaan lapar sambil memeluk mangkok kosong. Ah, miris sekali.

Beberapa tahun setelahnya.

Dua bocah itu kini tak lagi tinggal di kontrakan tiga petak itu. Tidak. Mereka tumbuh bersama, sejak kecil sampai saat itu.
*)

Keduanya bandel, nakal dan sulit diatur. Tapi bocah perempuan itu jauh lebih jutek dan kejam dari bocah laki-laki itu. Ya. Mungkin itu terjadi karena status bocah laki-laki itu yang menumpang tinggal bersama keluarga bocah perempuan itu, bocah laki-laki itu adalah adik kandung dari ibu si bocah perempuan. Bocah laki-laki yang malang, ibunya meninggal ketika usianya masih sekitar empat tahun. Ia masih belum mengerti apa itu kematian. Ibu bocah perempuan itu sering meneteskan air mata ketika bocah laki-laki itu berkata “Kang Oyah, kok mama ngaji enggak pulang-pulang ?” begitu polos bocah laki-laki itu. Ya. Ibu bocah perempuan itu membohonginya, ia tak memiliki cukup keberanian untuk menjelaskan kalau ibu bocah laki-laki itu telah pergi, pergi untuk selama-lamanya. Oleh karena itu, ibu bocah perempuan itu berbohong. Ibu muda itu berkata kalau ibu bocah laki-laki itu sedang pergi mengaji.

Dari cerita yang pernah gue dengar, ibu bocah perempuan itu sengaja mengambil alih pengasuhan beberapa adiknya. Ibu bocah perempuan itu anak kedua dari sepuluh bersaudara, dua diantaranya meninggal. Dan tersisa delapan sudah termasuk ibu bocah perempuan tersebut. Bahkan, ketika ibu bocah laki-laki itu meninggal, ayah dari bocah laki-laki itu nyaris bunuh diri. Ayah bocah laki-laki itu tidak tahan kalau harus hidup tanpa isterinya. Bagaimana bisa ia membesarkan delapan anak seorang diri, ya, tiga diantaranya memang sudah berkeluarga. Tapi lihat, lima anak-anak yang sepertinya masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Tiga orang perempuan dan dua orang laki-laki, mereka masih terbilang anak-anak.

Satu keputusan pun diambil, anak keempat dan ketujuh di asuh oleh ayah bocah laki-laki itu, anak kelima dan anak keenam di asuh oleh kakak laki-laki ibu bocah laki-laki tersebut, anak kedepalan yang paling kecil di asuh oleh ibu bocah perempuan tadi. Ah, ceritanya sedikit rumit. Yang gue tahu, ketika ibu dari bocah laki-laki itu meninggal, semua kakak-beradik itu berpencar.

Bocah laki-laki itu tinggal dan besar dalam keluarga kakak perempuannya, ya, kakak perempuannya tersebut adalah ibu dari bocah perempuan tadi, yang sama-sama menginginkan mie ayam.

Pernah bocah perempuan itu berkata “Ngapain lo manggil mama gue mama, mama lo udah mati tau. Awas manggil mama lagi” seperti itu ketika bocah laki-laki itu memanggil kakak perempuannya dengan sebutan ‘mama’. Ya. Bocah perempuan itu tidak mengizinkannya. Ia yang ketika itu masih menjadi anak semata wayang, dan enggan kasih sayangnya terbagi.

Dua bocah itu menjalani hari-hari bersama, sekolah dasar di tempat yang sama dan mengaji di tempat yang sama pula. Memakan makanan yang sama, dan menggunakan barang-barang yang sama pula, seperti tas, buku ataupun sepatu. Orang tua bocah perempuan itu sama sekali tidak pernah membedakan antara keduanya. Akan tetapi, bocah perempuan itu yang sulit untuk menerima. Ia sering kali melampiaskan rasa iri hatinya kepada bocah laki-laki itu. Bukan, sama sekali bukan karena mereka dibedakan. Tapi karena bocah perempuan itu berpikir kalau seharusnya ia mendapatkan semuanya lebih banyak jika tidak ada bocah laki-laki itu. Sering, ketika bocah perempuan itu dimarahi oleh ibunya maka bocah perempuan itu akan dengan sadis memukul bocah laki-laki itu sambil mengancamnya untuk tidak bilang kesiapapun. Ya, bocah perempuan itu bocah polos yang kejam. Enam tahun mereka sekolah di tempat yang sama. Namun, ketika menginjak jenjang sekolah yang lebih tinggi, SMP dan SMA, keduanya tidak pernah lagi satu sekolah.

Harus diakui, bocah perempuan yang di tahun 2003 menjadi siswi SMP itu terbilang jahat. Ia merasa, bocah laki-laki yang sejak dulu tinggal bersamanya adalah orang yang mengambil separuh kasih sayang orang tuanya. Pernah, satu ketika, karena seringnya dua bocah ini berantem. Mereka di pisah, bocah laki-laki itu diminta oleh ayahnya yang tinggal di Brebes. Ketika itu, bocah laki-laki itu masih kelas tiga sekolah dasar, dan bocah perempuan itu tentu duduk di bangku kelas empat. Mereka terpisah. Tapi apa ? setiap hari, bocah perempuan angkuh dan judes itu terus menangis.  Mau tak mau ia harus mengakui kalau dirinya merindukan kehadiran bocah laki-laki itu. Belum lagi, adik dari bocah perempuan itu yang baru belajar bicara, balita itu terus merengek di depan jendela “Mamang Aming ..” ucapnya berulang. Singkat cerita, bocah laki-laki itu pun kembali tinggal di dalam keluarga bocah perempuan itu. Dan bocah perempuan itu diam-diam merasa senang akan kembalinya bocah laki-laki itu.

Mereka masih sering bertengkar, terkadang, bocah perempuan yang saat itu telah menjadi gadis remaja sangat-sangat pedas perkataannya. Namun, ada saat dimana ia melakukan semua itu hanya karena tidak mau melihat orang tuanya kecewa.

Pernah, pertengkaran hebat terjadi diantara keduanya. Dua bocah yang saat itu telah menjelma menjadi remaja.
“Lo. Gue cuma minta lo, buat jemput bapak kalo pulang kerja, atau anterin mama kalo mau kemana-mana. Kalo gue bisa naik motor, gue juga enggak butuh bantuan lo.” Kata gadis perempuan itu ketus. Laki-laki yang berdiri dihadapannya hanya terdiam. “Lo sadar gak ..” gadis itu belum selesai berbicara, namun laki-laki itu lebih dulu memotong “Iya, gue sadar kalo gue cuma numpang.” Katanya dengan nada yang sama tingginya.
“Bagus. Lo harusnya sadar diri, siapa lo, kalo enggak ada bokap-nyokap gue, gimana hidup lo. Sekarang, gue cuma minta lo buat nurut sama mereka. Satu lagi, lo jangan pulang larut malem terus. Lo tau enggak ? Mama sama bapak tuh nungguin lo pulang, mereka begadang buat jagain pintu yang sewaktu-waktu lo ketuk. Lo ..” gadis itu naik darah, semua emosinya meluap yang mengakibatkannya akan dengan lancar meluncurkan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati laki-laki itu. Tapi satu, gadis itu hanya ingin yang terbaik. Tapi sayang, gadis itu terlalu kejam, ia tidak memikirkan bagaimana sakitnya perasaan laki-laki itu. harusnya, gadis itu paham kalau laki-laki itu adalah remaja yang memang sedang labil-labilnya. Begadang dan pulang pagi bukannya memang bagian dari remaja laki-laki saat itu, bukan begitu bukan ? Harusnya gadis itu paham kalau laki-laki itu juga ingin menikmati masa-masa remajanya. Tapi sudahlah, mereka berdua masih sama-sama labil.
(**)
Lulus SMK, gadis itu bekerja di sebuah pabrik industri di Cibitung. Dan laki-laki itu yang mengantar jemputnya. Walau, mereka masih sering kali bertengkar, soal apapun.

2010. Laki-laki itu lulus STM, ia pun bekerja di sebuah pabrik industri yang terletak tepat di depan pabrik tempat gadis itu bekerja. Terkadang, jika satu shift mereka berdua sering pulang dan pergi bersama. Sarapan bersama pun pernah sesekali mereka lalukan ketika pulang kerja. Dan sedikit demi sedikit pun mereka pernah melakukan curhat soal asmara. Hanya beberapa.

Pertengkaran itu mulai berkurang, sampai pada saat itu. Sebuah rahasia yang rapat-rapat disembunyikan oleh laki-laki itu berhasil diketahui oleh gadis yang mulai dewasa tersebut. Awalnya, gadis itu tidak percaya. Ia memaki-maki laki-laki itu lewat pesan singkat. Menghujatnya, tapi lagi-lagi harus diketahui, gadis itu melakukan hal tersebut, karena ia peduli. Berbagai alasan pun ia berkelut, ia harus mengakui kalau dirinya menyayangi laki-laki itu. Entah sebagai adik yang membutuhkan nasehat-nasehatnya, atau sebagai mamang yang ingin dijadikannya pelindung. Keduanya ia inginkan.

Dear diary … kenapa dari dulu aku susah dapatin kasih sayang dari seorang ibu .. ? Aku juga sedih ya Allah, aku hidup dengan kayak gini, tapi aku ngejalaninya dengan ikhlas. XxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxBuat semua keluargaku, aku minta maaf. Aku udah banyak salah sama kalian semua. Terutama kang Oyah, kang Oyah ku sayang sama kang Oyah. Kang Oyah itu udah seperti ibu kandungku.

Sore itu, setelah laki-laki itu memutuskan untuk meninggalkan keluarga itu, pagi di hari yang sama, gadis itu bersama ibunya membaca sebuah coretan yang terselip dalam lembaran-lembaran kosong buku harian milik laki-laki itu. Dan, aliran deras rasanya tidak ingin berhenti dari mata keduanya. Gadis itu menangis tersedu-sedu, bersama ibunya. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Ingatannya berputar, bagai menonton sebuah film yang sudah amat dikenalnya. Lama, gadis itu terus menangis tanpa henti. Lalu ia berbisik pelan, aming, maafin gue.

Saat ini, 2013. Keduanya tak pernah lagi bertengkar. Hanya kerinduan yang sering dirasakan gadis itu, entah laki-laki itu merasakannya atau tidak. Perlahan, dengan usia yang bertambah dan keadaan lingkungan juga pengalaman hidup yang membuatnya mampu berpikir dewasa, ia mulai mengerti dan memahami mengapa laki-laki itu memilih pilihan itu, pilihan yang menjadi rahasia hidupnya. Tidak, ia tidak akan pernah berkata apa-apa lagi tentang pilihan hidup laki-laki itu. Namun, saat itu, saat ini dan sampai kapanpun ia tetap ingin mengingatkannya kalau masih ada keluarga untuk laki-laki itu, keluarga yang menyanyanginya. Dan selalu ada tempat jika dirinya ingin kembali. Dan tentang rahasia itu, gadis itu percaya, kalau suatu saat nanti, ia akan mendapatkan mamangnya kembali seperti dulu. Tapi satu hal yang pasti, gadis itu peduli dan menyanyanginya, tulus.
 (***)




*) Foto diambil di akhir tahun 2009, di Kota tua, Jakarta. Ketika itu, gadis itu sedang patah hati dan mengajak laki-laki itu untuk lebor (lepasboring), ya, walaupun semua keuangan yang keluar gadis itu yang menanggungnya karena laki-laki itu masih sekolah kelas tiga STM.
**)Foto diambil di dalam angkot, di daerah Brebes, Jawa tengah. Sekitar tahun 2010, ketika itu kedua remaja itu berkunjung ke desa Slatri di Brebes untuk menemui ayah laki-laki itu. Untuk meminta uang sebagai tambahan biaya ujian akhir laki-laki itu. Terpaksa, karena orang tua gadis itu memang benar-benar sedang tidak punya uang.
***) Foto diambil pada hari Raya tahun ini (2013), di tempat tinggal gadis itu, di daerah Bekasi.
 
Beberapa tulisan sengaja di sensor karena hanya untuk kepentingan pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar