Senin, 14 April 2014

cerita cinta dari dalam mushola

Resource : cintarindurasul.blogspot.com
cinta. sekalipun ku gunakan air laut sebagai tinta dan langit sebagai alasnya, tetap tak kan mampu untuk mendeskripsikannya dengan kata. karena ketika cinta telah datang kepadaku, aku takut semua yang ku jelaskan tak ada kebenarannya.

udah puitis belum tuh ?

ya, boleh lah ya gue bahas tentang cinta. cerita cinta lebih tepatnya. cinta lugu bisa dibilang.

dulu, zaman gue SD, ya, kurang lebih empat tahun yang lalu. iya, iya, gue bohong. tujuh belas tahun yang lalu, gue masih kelas satu. kan, ketawan tuanya. tapi, gue enggak mau cerita tentang apa yang terjadi di sekolah dasar itu. gue mau cerita tentang cinta yang bikin gue semangat buat ngaji.

pecah nih !

zaman gue kecil, mushola-mushola masih di penuhi sama remaja-remaja masjid. biasa di kenal, anmus (anak mushola). gue mulai ngaji sejak kelas dua sd, itu pun melalui proses yang sangat panjang antara rombongan kecil temen-temen gue dan maa (nyokap gue).
sore itu, menjelang maghrib, beberapa temen gue nyamper sambil bawa seperangkat alat sholat (mukena yang di bungkus sajadah). sebelum mereka sampe ke depan rumah gue, gue udah lebih dulu liat dari kejauhan, buru-buru gue masuk ke kamar mandi, gue kunci rapet-rapet.
iya, gue enggak mau ngaji. jangankan ngaji, sekolah aja dulu gue enggak mau. di masukin taman kanak-kanak gue nangis kejer, di daftarin TPA malah minta ke KUA. aduuuh, ngaco. tapi asli, gue enggak suka keramaian, gue itu pemalu pake banget.
dari dalem kamar mandi, gue dengar suara Mimi (salah satu teman gue) yang manggil-manggil nama gue, gue keringet dingin, gue duduk di sisi kolam yang ada di dalam kamar mandi.
tok tok tok ..
"kak, kamu ngapain di kamar mandi ? itu teman-temannya nyamper ngaji" ucap nyokap gue di balik pintu kamar mandi.
gue diem, masih duduk sambil memeluk kaki gue yang gue tekuk. jantung gue berdebar kenceng. dengan lantang gue berteriak "gak mau ngaji, pokoknya enggak mau ngaji" teriakan lantang gue melemah, gue nangis, nangis sejadi-jadinya.
gue enggak inget lagi apa yang dikatakan nyokap, tapi yang pasti setelah cukup lama gue diem diatas kolam yang ada di kamar mandi, gue keluar dengan kedua mata sembab. nyokap ngasih seperangkat alat sholat itu ke gue, lalu mengantar gue ke luar, menemui beberapa temen gue yang masih sabar menunggu.
dan sore itu, untuk pertama kalinya gue menginjakkan kaki gue ke dalam sebuah pengajian, pengajian di masjid Abdul latief asoigh.

candu. terkadang, sesuatu yang awalnya sangat kita hindari, malah menjadi hal yang membuat kita ketagihan untuk mencobanya lagi, lagi, dan lagi.

setelah hari itu, gue enggak pernah absen dalam pengajian tersebut. pengajian harian, seminggu full, senin sampai minggu. gue ngerasa damai berada di lingkaran tersebut. gue berangkat sebelum maghrib, jalan rame-rame sambil meluk mukena dan iqra yang di selipkan di dalam lipatan sajadah. sesekali, gue meletakkan semua alat-alat itu di atas kepala, lalu berlari kencang untuk sampai di masjid.

indah, sangat indah.

gue enggak lama jadi murid kak Jamal, kak Anan, kak Ikhsan, mba Rohina, mba Teny di masjid Abdul latief Asoigh. gue pindah ngaji bersama rombongan kecil gue, pindah ke sebuah mushola yang .. selalu gue rindukan sampai saat ini.

mushola Baiturrahman.

di dalamnya, gue belajar untuk mengenal dan mencintai Allah. enggak jauh beda, pengajian di mushola Baiturrahman juga di laksanakan setelah sholat maghrib sampai menjelang isya. di sana, di mushola itu, gue mengenal tentang hukum tajwid, sejarah islam, ilmu fiqih, dan di sana juga untuk pertama kalinya gue membaca al-qur'an.

pernah, suatu ketika hujan turun sangat deras, semua murid yang ada disana pulang satu per satu di jemput oleh orang tuanya. sampai hanya tersisa gue dan Aming (mamang gue, adek bontot nyokap). kita berdua masih menunggu untuk di jemput, tapi enggak ada sama sekali tanda-tanda nyokap akan ngejemput kita. ya, waktu itu adek gue satu-satunya emang masih kecil, jadi enggak mungkin di tinggal. dan ya, waktu itu gue enggak punya hape, beda zaman, hape bukan kebutuhan primer seperti saat ini. hape hanya milik orang-orang penting.

"lho, kalian belum pulang ?" ustad Abdullah nyapa gue sama Aming, dengan kompak kita menggeleng. suara petir menggelegar, malam itu hanya ada gue, Aming dan ustad Abdullah di mushola itu.
"ayo saya antar" tawar ustad Abdullah, lagi-lagi gue sama Aming menggeleng, enggak mau. ustad Abdullah pun pulang, sebelumnya Beliau meninggalkan pesan "kalau belum di jemput, ke rumah saya aja" gue dan Aming ngangguk.

entah berapa menit kita nunggu jemputan, sampai akhirnya, gue sama Aming memilih untuk menerobos hujan, dan, apa jawaban nyokap ketika gue tanya "mama kok enggak ngejemput kita sih, kan bapak udah pulang"

dengan merasa bersalah nyokap bilang "mama enggak punya payung"

enggak, enggak ada lanjutan dari cerita itu, gue hanya sedang mengingatnya.

lalu apa hubungannya dengan cinta ?

seorang laki-laki yang gue panggil abang, laki-laki yang sangat sederhana dengan segala ketakwaannya. umur kita enggak beda jauh, hanya berkisar dua sampai tiga tahun. laki-laki itu sangat sangat jauh dari tampang tampan, mungkin, karena toh, setiap orang memiliki definisi masing-masing untuk penilaian tersebut. laki-laki itu pun tidak bertubuh tinggi, agak pendek, berkulit sawo mateng, rambutnya agak ikal, sering keluar dari kopiah yang di pakainya. suaranya lantang, merdu ketika membaca Al-quran dan lembut ketika sedang mengisi materi.
gue enggak tahu kapan pastinya gue ngerasa selalu ingin melihatnya. mungkin karena kita terbiasa bareng, jadi gue ngerasa ada yang hilang kalau kita enggak ketemu. bareng dalam mengaji, setiap hari.
kebiasaan dia yang hampir setiap hari di lakukannya adalah duduk di pintu masuk mushola sebelum maghrib, entah emang sengaja nunggu adzan maghrib atau .. gue ngerasanya, dia nunggu gue. karena apa ? setiap kali gue baru belok di ujung jalan menuju mushola dan dari kejauhan sudah terlihat sosoknya, laki-laki itu selalu masuk ke dalam, padahal belum adzan. jadi, jangan salahkan gue kalau gue mengira dia lagi nungguin gue.
pernah, suatu ketika di malam jumat, di mushola itu, setiap malam jumat kita selalu membaca surat yaasin bersama, lalu lanjut membaca sholawat nabi yang di iringi dengan tabuhan rebana. marawis.
gue sama dia terpisah, anak-anak perempuan di ruangan besar yang ada di bagian mushola, sedangkan anak laki-laki berkumpul di ruang utama, ruang yang terletak mimbar dan tempat imam di dalamnya. sepanjang tabuhan rebana itu berbunyi, entah berapa kali kedua mata gue bertemu dengan matanya yang besar. ya, meski kita berada di ruang terpisah, kita masih bisa saling pandang di perbatasan kaca besar yang menjadi pembatas di ruangan utama. sesekali gue tersenyum malu, dia pun sama. tapi gue belum berani untuk menyimpulkan arti senyuman itu, yang jelas, gue senang.
hari-hari berikutnya gue selalu merasa tenang setiap kali melihatnya, lalu panik setiap kali harus mengaji dengannya. pernah, gue baca al-quran di hadapannya, jarak kami sangat dekat, gue baca kitab suci tersebut di hadapannya, dia menyimak setiap ayat yang keluar dari mulut gue.
deg.
jari kita bersentuhan di atas lembaran al-quran, asli, gue enggak sengaja. ketika itu dia sedang menunjuk satu huruf yang gue salah membacanya, dia menunjuk huruf itu dengan ibu jarinya, lalu dengan spontan, jari telunjuk gue mendarat di atas kuku ibu jarinya.
stop. seolah ada tombol pause yang tertekan. gue diem untuk beberapa detik, dia pun sama. lalu tombol play kembali di tekan, buru-buru gue menarik jari telunjuk gue, dia pun melakukan hal yang sama. dalam hitungan detik, kami berdua salah tingkah.
"maaf" dia lebih dulu mengucapkannya, gue diem sambil ngangguk malu, lalu memilih menyudahi bacaan qur'an tersebut.
tak sengaja, kita ketemu di tempat wudhu "pasti batal gara-gara kesentuh saya ya ?" tegurnya sambil melepaskan kopiah hitamnya. "iya, abang juga ya" gue masih malu, senyum malu. laki-laki itu ikut tersenyum sambil mengangguk.
selanjutnya, perlahan gue ngerasa kita berdua menyimpan perasaan yang sama, tapi tak ada yang berani mengatakannya. atau malah menganggap perasaan itu hanya angin lalu.
ada satu hal konyol yang pernah gue lakuin, gue pernah minjem hadist, buku hadist kepadanya. dengan senang hati dia memberikannya. tapi apa kalian tau, gue sama sekali gak bisa baca buku itu, buku yang berisi huruf arab gundul yang gue sama sekali enggak tau cara membacanya. gue cuma sekedar ingin mengobrol dengannya. melihatnya lebih dekat.
ya, terkadang orang yang sedang jatuh cinta cenderung melakukan berbagai macam hal konyol.
besoknya, dan hari-hari selanjutnya semua sama, gue masih sering kepedean dengan semua sikap dia, dan dia juga masih sering mencuri pandang diam-diam, beberapa teman gue membenarkan hal tersebut. karena dia entah sudah berapa kali kegep lagi mandangin gue.
waktu berlalu, gue udah jadi siswi SMP, dan jadwal sekolah gue yang mulai bentrok dengan jadwal ngaji, membuat gue untuk memutuskan satu pilihan. gue keluar dari pengajian itu, dan enggak pernah ketemu dia lagi. perasaan itupun hilang dengan sendirinya, terlebih banyak temen-temen cowok di sekeliling gue, temen baru di sekolah yang baru. dia benar-benar lenyap dari pikiran gue, bahkan, suatu ketika, gue pernah ngerasa enggak percaya kalau gue pernah jatuh cinta sama laki-laki itu.
seperti kalimat pembuka di atas, cinta, apapun gue jelasin maknanya, semua akan berubah ketika gue merasakannya. cinta.
beberapa tahun berlalu, enggak sengaja, gue ngeliat laki-laki itu berjalan dengan seorang wanita berjilbab panjang, di tengah mereka ada anak kecil yang lucu.
"Ya, aya, lo kenapa ?" teguran seorang teman yang saat itu lagi jalan bareng gue di salah satu mall di Bekasi.
"itu, laki-laki itu guru ngaji gue, guru ngaji yang dulu pernah gue suka" pandangan teman gue beralih mengikuti jari telunjuk gue yang mengarah kepada keluarga kecil yang berjarak tak jauh dari tempat gue berdiri.
"serius, lo pernah naksir cowok itu ?"
gue tersenyum sambil mengangguk pasti.
gue enggak pernah sama sekali nyesel pernah diam-diam menyukai laki-laki itu, malah gue senang, karena gue mencintainya dengan hati, seenggaknya itu yang gue pahami tentang cinta, pemahaman cinta untuk ukuran anak kelas enam sekolah dasar pada saat itu.

gue beranjak remaja, memasuki masa puber, menikmati indahnya cinta.

sampai pada akhirnya, gue ingin kembali mencintai dengan cara seperti itu. tak memandang fisik, tahta atau apapun yang berhubungan dengan dunia. tapi cinta yang datang ketika gue melihat ia bisa mencintai Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar