Selasa, 08 April 2014

Ketika aku memandang dengan ‘kacamata’ hati

© aya
Bangku kosong di trotoar senayan
Anggap saja aku bukan aku. Bahkan aku sendiri tak mengerti mengapa aku tiba-tiba menjadi seperti ini. Mungkin, aku hanya sedang merindukan-Nya, atau diam-diam, aku selalu merindukan-Nya. Entahlah. Tak perlu kau tahu jawabannya, tak penting juga kau habiskan waktu sepersekian menit untuk memikirkan ataupun menerka-nerka jawaban tersebut. Tidak perlu. Sekali lagi ku tegaskan, tidak perlu !

Kau cukup memahaminya. Aku sedang ingin di pahami.


Aku melihat bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat, seorang anak kecil yang sedang memunguti sisa makanan di sudut jalan. Suapan demi suapan yang masuk ke perutnya tak sama sekali menyadarkannya bahwa apa yang di makannya adalah makanan yang di ambilnya dari tempat sampah. Seketika, aku bertanya pada diriku sendiri, kapan terakhir aku merasakan lapar ? bahkan aku lupa sekuat apapun aku mengingatnya.

Tak perlu banyak tanya, kau cukup memahaminya. Aku hanya sedang ingin di pahami.

Aku melihat bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat, seorang kakek yang sudah tak mampu lagi berdiri, dengan hampir seluruh kulit yang tengah keriput, kulit yang membalut tulangnya. Kakek itu duduk di sebuah kursi roda, pandangannya lurus ke depan, beberapa menit aku memperhatikan setiap gerakan yang di lakukannya. Lalu aku terdiam, aku sedang mengingat, seberapa sering aku menunda panggilan-Nya demi menyelesaikan urusan dunia ? Lagi-lagi aku tak menemukan jawabannya, terlalu sering mungkin, izinkan aku berkata ‘entahlah’.

Aku melihat bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat, dua anak perempuan yang duduk berhadapan, di antara keduanya terlihat tumpukan tanah yang hampir datar. Aku bersembunyi di balik pohon besar yang ada di sana, aku ingin mendengar kalimat apa yang mereka ucapkan dengan isak tangis memilukan. Aku memasang telingaku baik-baik, samar-samar aku mendengar, seorang dari mereka berkata ‘aku merindukanmu ibu, apa kabarmu ? Apa Allah baik padamu ? dan kapan ibu akan menjemput kami ? tak ada masakan senikmat masakan buatanmu bu’. Sebulir air jatuh dari kedua sudut mataku, bagaimana tidak, aku adalah orang yang sangat sensitive jika sudah berhubungan dengan kata tersebut. Ibu. Dan kau tahu ? baru saja kemarin aku kesal pada beliau, ya, beliau lagi-lagi melarangku untuk melakukan perjalanan. Beliau bilang ‘wanita yang belum menikah tak baik kalau sering berpergian tanpa di dampingi muhramnya’ tapi aku, dengan tegas melawannya. Tapi kau harus tahu, ibuku tak pernah benar-benar marah, tak pernah benar-benar melarang, beliau selalu memaafkan setiap kesalahanku dengan pelukkannya yang hangat.

Ya. Kau benar, aku sendiri tidak mengerti. Ada apa dengan diriku, aku seperti bukan aku. Bukankah sudah kubilang di awal tadi. Aku juga tidak tahu, jawaban apa yang harus ke jelaskan. Masih bersediakah kau memahamiku ? Lagi-lagi kau benar, kau tidak bisa menolak, karena aku masih ingin di pahami.

Aku melihat bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat, seorang wanita renta yang menjajakan nasi pecal di sebuah stasiun kereta, kedua telapak kakinya tak beralas. Rambutnya sudah dua warna, bahkan aku bisa memperkirakan kalau dalam hitungan bulan, rambut wanita tua tersebut akan memutih seluruhnya. Kemudian kedua mata yang menempel di wajahku melirik tumpukan berkas yang ada di dalam genggamanku. Ya, kau benar, aku sedang mencari pekerjaan. Ada hentakan benda tajam yang ku rasakan jauh di palung hati, semangat yang sebelumnya telah menghilang menyelundup masuk seperti ingin menjebol sebuah rasa keputus asaan. Bukankah tak pernah ada kesia-siaan dalam setiap perbuatan ? Tuhan adil, bukan ? mungkin, tempo lalu, aku hanya memikirkan tentang apa yang akan aku dapatkan, tentag hasil dalam sebuah usaha, bukan tentang bagaimana setiap proses yang harus aku lalui. Mungkin, tempo lalu, aku hanya memandang mereka yang tengah menikmati satu keberhasilan, aku lupa menanyakan bagaimana mereka bisa meraih keberhasilan tersebut. Ya, kau harus maklum, mungkin, pikiranku terlalu sempit. Tapi lusa, kau dapat pastikan bahwa aku tak akan lagi berpikir tentang ‘hasil akhir’, aku tak peduli lagi akan apa yang aku dapatkan, tapi bagaimana aku dapat menikmati setiap proses menuju satu keberhasilan. Kau benar, tak pernah ada yang sia-sia.

Aku melihat bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat, dunia. Aku melihat dunia yang begitu menggelisahkan. Kosong. Lalu aku pergi, menatap langit yang begitu luas dengan warna yang sangat indah. Lalu beralih, bukit hijau nan cantik. Tak lama, gelombang kecil di lautan luas menarik perhatianku. Lalu aku menoleh ke bawah, melihat kedua telapak kakiku yang melangkah pelan menuju satu puncak. Dunia. Inilah dunia yang mampu mengajarkanku akan tanda-tanda kekusaan Tuhan. Tak ada satu pun yang tak terurus. Semuanya. Tak kekurangan suatu apapun. Lalu aku kembali kepada dunia yang satunya lagi. Ku lihat ibu, ayah, adik, keluarga, dan semua teman-temanku di dunia tersebut. Dunia yang mengajarkanku tentang rasa memiliki, indahnya kasih sayang, kerasnya kehidupan, dan liciknya pengkhianatan. Dunia. Keduanya tak berbeda. Aku sadar, dimanapun, kedamaian hanya dapat di rasakan ketika aku mampu melihat segala sesuatunya bukan dengan kedua mata yang biasa ku pergunakan untuk melihat.

Aku merindukan-Nya. Rindu yang aku yakini tak pernah sepihak.

Seseorang pernah berkata ‘kau cinta pada-Nya, maka Dia akan mencintaimu. kau dekat pada-Nya, Dia tentu dekat bahkan lebih dekat denganmu. kau membenci-Nya, Dia akan tetap mencintaimu’.

Terserah apa yang kau katakan tentang diriku, aku hanya meminta kau untuk memahaminya. Tak lebih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar