Minggu, 20 April 2014

Setidaknya, sekali di dalam hidupmu, cobalah untuk mendaki gunung

Satu ketika di papandayan

Jika ada skala satu sampai sepuluh untuk menilai seberapa travelernya diri anda, berapa angka yang anda pilih ?

Oke. Saya berikan beberapa detik untuk kalian memikirkan jawabannya, silakan berhenti sejenak !

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10


Satu sampai sepuluh ? bagi seorang pejalan, tak pernah ada nilai-nilai dalam setiap langkahnya, yang ada hanyalah cerita. Silakan kamu bilang, ‘gue traveler banget, bahkan kalo ada angka sebelas, gue pilih angka tersebut’ atau kamu juga bebas mengatakan ‘ah, saya pemula. Mungkin angka yang tepat untuk diri saya adalah 0,00000001’. Terserah, semua orang bebas memberi penilaian pada dirinya sendiri.

Tapi, sore itu saya tercengang ketika mendengar jawaban yang keluar dari seseorang yang begitu saya kagumi, seorang traveler sejati yang sangat humble. Darinya, saya belajar banyak hal. Seorang yang sudah menjelajah sepertiga dunia, mungkin.

Dengan tegas, ia menjawab

‘semakin kamu melangkah, semakin kamu mengerti bahwa angka-angka dan nilai-nilai tersebut tak pernah memiliki arti sedikit pun’

Kamis malam, 17 April 2014 kaki saya kembali melangkah. Satu hal yang saya suka dalam perjalanan adalah rasa penasaran tentang banyak hal yang akan saya temui di dalam perjalanan tersebut. Tentu, pertanyaan ini pun menyelinap pelan-pelan ‘kira-kira, bakalan nyasar enggak yah ?’ selalu, pertanyaan itu selalu hadir walau tak pernah di harapkan.

Tepat sebulan lalu, ketika saya pulang dari bromo, seorang teman menyebar racun yang saya yakini saya akan sulit untuk berkata ‘tidak’.

Bagi saya, menolak ajakan untuk melakukan perjalanan adalah sebuah kesalahan besar. Saya akan terus di hantui dengan berbagai macam perasaan yang penuh dengan penyesalan. Oleh karena itu, dengan senang hati saya menerima ajakan teman saya untuk bertamu ke papandayan. Kawasan gunung dengan ketinggian 2665 mdpl yang terletak di daerah Garut.

Rencana sudah tersusun dengan rapih, walau kadang, saya tak begitu suka dengan rencana perjalanan, buat apa di rencanakan kalau ujung-ujungnya tidak jadi. Lagi pula, jika semua di rencanakan, bagian mana yang akan menjadi kejutan. But, everything is okay. Saya hanya mengikuti sebagai anggota, seorang teman yang di ajak. Sebatas itu.

Jumlah kami empat belas orang setelah beberapa orang sebelumnya tak jadi ikut, dan beberapa lainnya tiba-tiba gabung. Ini, ini serunya sebuah rencana. Selalu berubah. Empat belas orang gabungan dari tujuh orang laki-laki dan tujuh orang perempuan. Kami berkumpul di salah satu terminal di Jakarta, terminal kampung rambutan jam sembilan malam, menjadikan mushola yang ada di terminal tersebut sebagai tempat singgah kami untuk menunggu teman yang lainnya. Satu per satu orang asing yang saling berjabat tangan seketika telah menjadi teman. Beberapa rombongan lain pun terlihat di sekeliling kami. Carriel, matras dan gulungan tenda berhamburan di sudut-sudut mushola. Sapaan-sapaan hangat silih berganti terngiang di telinga saya. Saya merasa beruntung ada di tengah mereka. Sangat beruntung, dapat merasakan sesuatu yang lebih.

Rombongan saya pun lengkap, di tutup dengan kehadiran bang Hasyim, seorang teman dari Cilegon. Tubuhnya yang kecil nyaris tak terlihat, tertutup carriel besar. Tiga belas orang disana, termasuk saya bersiap untuk melangkah, tapi bang Hasyim minta waktu sebentar untuk beristirahat. Kami mengerti, merasakan kelelahan yang di rasakan bang Hasyim. Sambil menunggu sejenak, rombongan lain yang teryata satu diantara mereka adalah teman bang Sodik (salah seorang rombongan saya) menawarkan untuk berangkat bareng. Ya, tujuan kita sama. Papandayan. Dengan senang hati, kami semua memutuskan untuk berangkat bersama.

Bus ekonomi Jakarta-Garut itu melesat pelan meninggalkan terminal kampung Rambutan tepat jam dua belas malam. Beberapa orang terlihat lelah dan hanyut dalam lelap. Beberapa lainnya sibuk dengan gadget di genggamannya. Dan beberapa orang lagi terdiam, menyandarkan tubuhnya ke sandaran bangku penumpang dengan perasaan tak menentu. Semua terlihat di dalam bus itu. Ini, kali pertama saya akan mendaki gunung, melangkah sambil menggendong cerriel (tas besar), tidur di dalam tenda yang di bangun di hamparan luas beralaskan tanah beratap langit, makan bersama dengan logistik seadanya, buang air besar ataupun kecil di semak-semak daun, minum air yang langsung dari sumber mata air dan merasakan hawa dingin yang akan menusuk tulang rusuk. Ya, tak lama lagi apa yang saya pikirkan akan saya alami.

Sekitar jam enam pagi, bus itu berhenti di terminal Guntur, Garut. Setelah sarapan dengan menu yang tersisa, dan sebagian lainnya memilih warteg untuk menikmati hidangan pagi yang dingin. Kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot bermuatan empat belas orang menuju kawasan agropolitan kecamatan Cisurupan. Kurang lebih satu jam perjalanan, sampai di Cisurupan, kami lanjut naik mobil bak menuju kawasan papandayan. Something that I like. Ya, mobil bak. Saya selalu suka menaiki kendaraan yang tak biasa, seperti hard top di bromo, mobil bak yang saya tumpangi terasa begitu menyenangkan. Sebenarnya sederhana, saya selalu merasa bebas berada di dalam kendaraan terbuka semacam itu, merasa lebih dekat dengan alam. Embusan angin yang terdengar begitu merdu dan sapaan lembutnya yang mengenai wajah saya. Sekali lagi, something that I like.

Jalanan dari Cisurupan menuju kawasan papandayan tidak bisa dikatakan mulus. But, I like it. Itu menyenangkan. Ah, saya selalu menyukai semua hal yang kadang sedikit orang saja yang menyukainya. Beberapa hal yang sering dieluhkan orang, justru saya syukuri. Jalanan sangat-sangat rusak itu sukses membuat tulang ekor saya nyaris mati rasa, tapi semua tak terasa dengan rasa penasaran kami tentang sesuatu yang akan kami dapatkan di ujung nanti. Mobil bak itu tiba-tiba berhenti, tak kuat untuk menanjak. Tiga orang diantara kami harus turun, mencari batu untuk mengganjal ban belakang agar tidak mundur lagi. Hanafi, bang Ahmad dan bang Hasyim yang menjadi pahlawan, mendorong sekuat tenaga sampai mobil bak hitam itu kembali melaju. Sisi-sisi perjalanan menuju kawasan Papandayan berisi barisan pepohonan yang rindang, juga juntaian bukit-bukit hijau yang tertutup kabut. Sangat-sangat indah. Melihatnya menghadirkan ketenangan di hati saya. Damai.

Jangan ambil sesuatu kecuali gambar. Jangan bunuh sesuatu kecuali waktu. Jangan tinggalkan sesuatu kecuali jejak.

Gerbang papandayan telah kami lewati. Yeaah, mobil bak itu berhenti tepat di pelataran kawasan papandayan. Satu per satu dari kami melompat turun keluar dari mobil bak itu, berkumpul di sisi pelataran luas yang tidak sepi itu. Beberapa orang dari kami meminta SIMAKSI (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) semacam pendaftaran untuk mendaki. Surat itu pula yang nantinya di gunakan beberapa pihak untuk mencari pendaki yang belum melapor turun setelah melewati waktu yang telah di sepakati. Jadi, tak perlu khawatir, kalau kamu tersesat di kawasan tersebut, ada team yang siap mencarinya.

©neng
Pelataran kawasan Papandayan
Jam sembilan tepat kami mulai mendaki, memasuki kawasan dengan barisan pepohonan rindang, lalu melewati tumpukan batu di sepanjang jalannya. Tumpukkan batu dengan sisi-sisi pepohonan yang berganti lapisan belerang yang mengeluarkan bau tak sedap. Kawah di sepanjang jalan pun menyapa kehadiran kami, menemani setiap pijakan yang kami gerakkan. Tuhan, betapa, indah karya-Mu.

Meski bau belerang menyengat, tapi bayangkan, kebulan asap kawah di sekitar dengan paduan bebatuan berwarna kuning keemasan terlihat begitu luar biasa menariknya. Memanjakan setiap mata yang melihatnya. Lelah yang terasa tak lagi menghalangi langkah kaki yang tak terhenti. Kami berjalan membentuk barisan, saling menyapa dengan pendaki lainnya dan sesekali mengabadikan dengan mengambil paduan alam yang menakjubkan itu dengan kamera. Ini perjalanan berbeda dengan perjalanan yang biasa saya lakukan. Semuanya terasa sangat bersahabat. Uluran tangan yang siap membantu setiap detiknya, ucapan ‘gue sih enggak masalah enggak sampe puncak’ menandakan betapa pedulinya seorang pendaki yang tidak menjadikan puncak sebagai tujuannya.
© bang Ahmad
Jalan sekitar menuju pondok Saladah
Pendakian pertama berkisar tiga sampai empat jam. Setelah melewati jalan bebatuan yang tak bisa di katakan mulus, hutan penuh ranting di sisi-sisi jalannya, dan jalan setapak yang sempit kami sampai di pondok saladah. Kawasan yang akan menjadi rumah sementara para pendaki.

Empat tenda berukuran tak sama sukses berdiri di pelataran luas tersebut. Kami membuka menu makanan berat yang masih tersisa, melahapnya sampai habis. Kebersamaan dengan orang-orang yang baru sehari saya kenal, makan bersama, tertawa bersama sampai autis bersama. Awesome.
© aya
Pondok saladah, tempat para pendaki membangun tenda
Sore telah menyapa, hawa dingin mulai menusuk, saya berjalan dengan beberapa orang lainnya untuk mengambil air langsung dari sumber mata air. Ah, dinginnya air tersebut masih terasa di pori-pori telapak kaki saya. Dingin yang saya rindukan. Sumber mata air itu tak pernah lelah memberikan kesegaran bagi para penikmatnya, ada yang menggunakanannya untuk mandi, masak atau apapun. Sumber air itu tak pernah menolak untuk di jadikan apa-apa yang manusia butuhkan. Berterimakasihlah pada alam dengan cara tetap menjaganya, sebatas itu tak perlu lebih.
© om Bek
Setelah rehat sejenak, kami kembali berkumpul. Foto-foto bareng dengan tongsis ala kadarnya, tongsis milik ka Rezky yang di buat oleh bang Hasyim. Sebenarnya, saat tawa bahagia itu terdengar, saya sedang berada di dalam tenda, merasakan perasaan rindu akan pulang. Perasaan random yang selalu melesat diam-diam di palung hati saya. Ya, saya selalu merindukan keluarga yang saya tinggalkan, setiap kali saya melakukan perjalanan, kemanapun, perasaan itu akan hadir tanpa bisa di cegah. Wajah-wajah yang sangat saya sayangi, maa, paa, dan adik semata wayang saya. Ada tanda tanya kecil yang sering melintas ketika saya berada jauh dari rumah ‘apa mereka baik-baik saja ?’. Selalu, dimanapun, dalam situasi apapun, ketika saya sedang berada di suatu tempat yang jauh dari rumah, saya selalu merindukan mereka. Beberapa menit berlalu, saya melawan keras perasaan ‘kewanitaan’ saya itu dan keluar dari tenda, bergabung menjadi pasien autis yang baru. Ya, terkadang sesuatu yang kita anggap sangat memalukan, adalah sesuatu yang juga sangat menyenangkan. Keceriaan tercipta disana, empat belas orang yang tak saling kenal telah menjadi satu keluarga utuh. Pun, dengan beberapa orang orang lainnya. Tak ada kotak-kotak yang memisahkan kami, kami satu, satu keluarga. Makan malam juga terasa nikmat meski dengan lauk pauk juga nasi yang entah mateng atau tidak, tak peduli rasa, yang terasa hanya kebersamaan yang mampu mengenyangkan.

Awan telah menghitam, ribuan bintang menghiasi dengan kilauan cahayanya. Indah. Sangat-sangat indah. Saya menatap lamat-lamat langit itu, membisikkan rasa kagum pada sang pencipta.

Selesai makan malam, kami berniat menyalakan api unggun dan berbagi cerita, namun sayang, alam berkehendak lain. Gerimis menyapa, membuat kami harus kembali masuk ke dalam tenda, menyiapkan diri untuk pendakian selanjutnya. Memburu sunrise.

Jam empat pagi, sembilan orang berdiri membentuk lingkaran. Saya, Neng, kak Rezki, kak Anes, Tika, bang Ahmad, bang Hasyim, om Bekti dan Arif bersiap untuk menyapa matahari yang akan hadir di atas puncak papandayan. Lima orang lainnya, menjaga tenda dan akan mendaki bergantian setelah kami.

Saya bukanlah orang yang gampang menyerah, ya, walau sering kali berhenti sejenak untuk beristirahat, tapi saya tak pernah mau benar-benar berhenti. Dalam hal apapun.

Pun, termasuk ketika saya mendaki gunung papandayan. Berkali-kali saya berhenti ketika melewati tumpukkan batu besar dengan keadaan hawa yang sangat dingin dan gelap. Arief salah satu dari team saya yang membuka jalan, ia melangkah paling depan menjadi pemimpin rombongan. Kami menyatu, tak lagi membentuk team. Tak lagi ada perbedaan dan tak lagi peduli ‘lo siapa dan siapa lo ?’ kami sama-sama orang yang suka melangkah.

Deg.

“Buntu bang, salah jalan” seseorang yang ada di depan berteriak, membuat kami yang ada di barisan belakang membalikkan badan dan kembali membuka jalan lain. Ya, kami nyasar. I don’t know. Apa yang salah dengan diri saya ? kutukan kah ? Entahlah, betapa, kesasaran itu karib sekali dengan diri saya. Langkah kami terus berjalan, melewati hutan yang sebenarnya ada perasaan takut di hati saya, tapi abaikanlah, tak ada gunanya di sadarkan, toh, ‘mereka’ tak akan terganggu jika kita tak mengganggunya. Jalanannya terjal sekali, sangat-sangat terjal sampai membuat saya tak kuat lagi untuk melangkah. Enam orang yang melangkah bersama saya, memutuskan jalan lebih dulu. Tinggallah saya bersama bang Ahmad dan Arief. Fine. Kalau lo mau tau seberapa care-nya sahabat-sahabat lo, ajaklah mereka untuk mendaki gunung, disana, lo akan tahu mana sahabat yang sesunggunya. Simple.

Tak ada lagi sunrise di benak saya, seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya. Saya tidak pernah memiliki tujuan apapun setiap kali melakukan perjalanan, karena saya selalu yakin, di dalam perjalanan saya akan menemukan lebih banyak dari tujuan apapun. Saya lemah, jantung saya berdegup sangat-sangat kencang, tak ada lagi yang bisa saya dengar kecuali degup jantung saya sendiri. Bang Ahmad sibuk menawari saya minum, dan menanyakan keadaan saya. Beberapa pendaki lain yang melewati kami menyapa peduli, menawarkan berbagai macam bantuan, dan menyemangati.

Ya. Berhentilah sejenak ketika kamu lelah, lalu kembali melangkah. Karena kamu tak pernah benar-benar berhenti.

“Maaf ya bang, ngerepotin” lirih saya yang masih sekuat tenaga melangkah di tengah kedua laki-laki itu.
“Santai aja, Ya” sahut bang Ahmad yang berjalan di depan saya.
“Gue sih enggak peduli puncak. Enggak sampe puncak juga enggak apa-apa” tandas Arief.

Tak ada hal lain yang saya rasakan kecuali keberuntungan bisa bertemu dengan orang-orang seperti mereka. Kondisi tubuh saya memang sedang tidak bersahabat, pertama, dua minggu sebelum perjalanan ini saya habis jatuh di tengah jalan Sudirman, telapak kaki kanan saya bengkak. Dan bagian tubuh sebelah kanan saya terasa pegal semua, lalu seminggu setelahnya, suhu badan saya panas, setelah kehujanan dan demam cukup tinggi. Tapi, tak ada sedikit pun niat untuk mundur dan membatalkan perjalanan tersebut. Sudah saya katakan, saya tidak pernah tega untuk menolak ajakan perjalanan yang sekiranya menarik bagi saya.

Sampai di tegal alun, yang di anggap puncak papandayan, saya dan Arief terpisah dengan bang Ahmad. Saya kembali berhenti, mengeluarkan semua yang ada di dalam perut saya, membuat lega kondisi badan saya.
“Santai aja. Enggak usah di paksain” Arief mengingatkan, rasanya, saat itu saya ingin menangis, bersyukur karena bertemu dengan laki-laki itu. Arief yang terlihat agak feminine malah begitu bersahabat. Sangat-sangat terimakasih saya ucapkan atas kepeduliannya. Menemai setiap langkah saya mengukur hutan dengan penuh bebatuan terjal disana. Memijat leher saya ketika saya merasa mual, kepedulian seorang teman yang baru sehari saya kenal. Semoga ada Arief-Arief lain di luar sana, yang memiliki kepedulian seperti itu. But, ketika feminine nya datang, ada cerita konyol tentang Arief yang saya dengar di atas mobil bak menuju pulang, cerita yang keluar dari mulut bang Hasyim.
“Si Arief, pas ada teriakkan di tenda cewek-cewek, kan dia tidur, terus nanya ‘ada apaan sih ?’ gue jawab ‘ada kala jengking di tenda cewek’ terus dia bilang ‘ooh’ dia tidur lagi’

Gubrak.

Abaikanlah !

Selangkah demi selangkah, saya sampai di hamparan luas bunga edelweiss, kembali bertemu dengan rombongan saya yang sudah lebih dulu sampai disana.
“Aya. Gimana ? udah enggak apa-apa ?” sambutan hangat penuh kepedulian yang saya dengar, saya berlari pelan menghampiri mereka. Tersenyum sambil mengangguk. Ya. Saya baik-baik saja.

Kami menghabiskan beberapa menit disana untuk mengambil gambar dengan berbagai macam pose. Lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju hutan mati. You know ? sangat-sangat indah hutan mati tersebut. Ribuan atau entah berapa jumlahnya ranting-ranting kering yang tumbuh di lapisan tanah berwarna putih. Hah’ indah sekali. Setelah puas menikmati pesona alam yang luar biasa, kami kembali ke tenda, beristirahat lalu masak untuk mengisi perut.
© kak Rez
Hutan mati
Sepiring cornet, sepiring sosis dengan campuran telor orak-arik, sepiring telor dadar, semangkok penuh mie goreng, sepiring tahu dan tempe, dan sepiring nasi putih hangat terlihat sangat menggoda. Tanpa pikir panjang, dan tanpa menunggu lima orang lainnya, kak Rezky merobek bungkusan chiki yang sudah kosong, lalu melebarkannya dan menjadikannya alas untuk campuran menu tersebut. Ya, kita makan bersama. Mengisi perut yang sudah berteriak-teriak minta di isi. Makanan terlezat yang pernah saya makan, kebersamaan yang tak akan terlupakan.
© salah seorang teman di pondok saladah
Kanan ke kiri, tika, vilda, naufal, aya, mba syifa, bang sodik, neng, ka anes, arief
(Deretan depan) om bekti, bang hasyim, hanafi, bang ahmad, ka rezky
Setelah semua berkumpul, kami kembali bersih-bersih dan turun jam dua siang. Hujan menemani langkah turun kami, menambah taste dari perjalanan ini. Jalan setapak yang sangat licin. Kembali, uluran-uluran tangan yang saya terima dari para pendaki masih terasa kehangatannya. Kurang dari empat jam kami sudah sampai di pelataran kawasan papandayan. Melapor ke pos dan siap kembali ke asal muasal. Kembali menaiki mobil bak dengan cerita baru.

Perjalanan bukan perihal pamer foto yang menandakan 'gue pernah kesini lho !'
Perjalanan bukan hal yang membuat kamu merasa 'lebih tahu' dari yang lainnya.
Perjalanan pun bukan tentang cerita hebat yang layak kamu sombongkan.

Entahlah, apakah saya akan kembali mendaki gunung atau tetap melakukan perjalanan seperti traveler saja.

Tapi setidaknya, dalam hidup saya, ada satu kisah ketika saya mendaki gunung. Toh, Tuhan tak pernah sia-sia menciptakan pesona alam yang luar biasa indahnya, dan kita sebagai manusia, cukuplah untuk menikmatinya.

But, one thing’s for sure, I will not stop running.

8 komentar:

  1. Weww..gmna kalo gw ikut yaa..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak taulah .. lebih lebih dari bukit sikunir dan savana dieng, juga bromo .. ini gunung beneran .. hahahahaa

      Hapus
  2. Balasan
    1. Buat gue sih dingin .. tapi kemaren ujan, jadi gak terlalu dingin .. pas mendung, manteeep .. gigi gue sampe beradu saking dinginnya ..

      Hapus
  3. Keren, kak! Saya aja yg tinggal di Garut belum pernah menginjak Papandayan hehe... mungkin suatu hari nanti. Sekalian pengen ke Cikuray juga, katanya lebih bagus daripada Papandayan dan lebih serem juga :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah mampir :))
      Ya, akan ada 'suatu hari' tersebut .. cikuray susah air, jadi dari bawah kita harus bawa persediaan airnya, kata yg udah pernah sih gituh .. tapi yuuuk .. siapa tau kita bisa nanjak barengan :D

      Hapus
  4. Mantap ya, tulisannya. Terus diasah lagi biar lebih kena ke bagian judul dan bikin nambah penasaran dengan cerita selanjutnya.

    Salam Blogger :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udah mampir bang ..
      Siaap buat feedbacknya ..

      Salam ^^

      Hapus