Kamis, 03 September 2015

Dunia

Di ujung dermaga aku tak pernah lelah menunggu ayah. Kata ibu, ayah seorang pelaut. Lebih tepatnya ayah bekerja di kapal-kapal besar yang berlayar kemana entah. Ibu tidak menyimpan apapun yang dapat membuatku membayangkan sosok ayah. Dan otakku yang dangkal ini tak pandai, bahkan untuk sekadar berimajinasi akan wajah ayah. Ayah seorang laki-laki, hanya itu yang kuyakini.

Aku tinggal di sebuah desa nelayan, desa kecil yang membesarkan aku hingga saat ini ku berdiri. Aku tinggal bersama ibu. Kita hanya hidup berdua di sebuah rumah panggung berdinding bambu. Ibu sering menangis, aku sering mengintipnya di balik pintu kamarnya yang tak pernah bisa tertutup rapat. Ibu menangis pelan, lalu perlahan isakkan itu terdengar sangat menyedihkan. Aku tidak tahu apa yang membuat ibu sering kali menangis, tapi setiap kali aku dapati ibu menangis, aku pun menangis bersamanya. Menangis dalam diam di balik kursi kayu ruang tengah rumah kami.

Namaku Dunia.

“Dunia, ibu memberi nama kau Dunia, supaya kau hidup untuk akhirat. Kau Dunia, jadi, tak perlu-lah kau hidup untuk dirimu sendiri, karena kau Dunia” begitu jawabnya saat aku bertanya kenapa namaku Dunia sewaktu aku masih madrasah.

Ibu mendidikku keras, waktu aku masih sekolah dasar, aku sering di pukulnya karena kerap kali bolos mengaji. Rambut panjangku yang lurus pernah dihabisinya, tak sedikit pun tersisa, karena satu kali saja aku pernah menanggalkan jilbabku sepulang sekolah. Ibu marah besar. Ibu dengan sigap meraih gunting, mencukur mahkotaku habis-habisan. Saat itu ibu menangis. Aku pun menangis.

Ibuku tidak pernah sembahyang. Ia juga tidak mengaji. Aku pernah menegurnya “Ibu menyuruhku sembahyang lima waktu, mengaji, berpuasa. Tapi ibu tak pernah mengerjakannya. Kenapa bu ?” kedua bibirku di lumuri sambal sebelum kalimat itu sempurna keluar. Aku mengerang kepedasan. Aku menangis. Ibu pun menangis.

Ketika lulus Aliah, aku mendapatkan beasiswa di Universitas Al-Azhar, Kairo. Aku satu-satunya siswa Aliah di desa nelayan yang mampu mendapatkan beasiswa itu. Untuk pertama kalinya, aku paham air mata yang mengucur di wajah ibu. Ibu bangga kepadaku. Saat itu aku menangis di pangkuannya.

Ibu tidak pernah mengajariku bacaan-bacaan dalam sembahyang. Ibu juga tak pernah mengajariku satu per satu mengenal huruf-huruf arab. Ibu hanya menitipkanku kepada guru-guru besar di desa nelayan, tempat tinggal kami. Aku memang tidak pernah melihat ibu sembahyang ataupun mengaji, tapi ibu begitu mencintai lantunan ayat-ayat dalam kitab suci kami. Aku sering dimintanya untuk membacakan ayat-ayat itu, ia mendengarkannya tentu saja dengan mata yang semula berkaca lalu pecah menjadi isakkan pilu. Aku tidak pernah mengerti, apa yang sebenarnya ibu sembunyikan.

Setiap kali ramadhan datang, ibu tidak pernah sahur ataupun buka puasa bersamaku. Aku pernah memaksakan diri, tidak tidur seharian untuk menyelidiki ibuku sendiri. Namun tak ada yang ganjil, pagi hari ibu bangun, membuat adonan berbagai kue untuk di jual, lalu mencuci pakain, mencari ikan untuk di jual, dan kembali ke rumah menjelang petang. Ibu tidak sembahyang. Ya, ibu tidak pernah sembahyang. Aku tak mau lagi peduli. Aku hanya tidak ingin menyandang predikat ‘anak durhaka’. Itu saja.

“ustadzah Dunia, kiayi Ahmad sudah menunggu” Aku menoleh sambil menghapus tetes-tetes air yang mengembun di wajahku. Aku memberi senyum kepada perempuan muda, cucu kiayi Ahmad. Guru besarku sejak kecil.

**

“Ibumu mengembuskan napas terakhirnya seminggu lalu. Ia sengaja tak memberitahumu, katanya, kau sedang sibuk” kiyai Ahmad terdiam sebentar, aku masih menunggu ceritanya dengan dada yang sesak. Ya, aku sudah menerima kabar yang membuatku tak sadarkan diri hampir seharian jauh disana, bagaimana bisa, ibu tak menginginkan keberadaanku di detik-detik akhir embusan napasnya. Aku marah. Namun kesedihan dan kasih sayangku menutupi segala amarah itu.

“Alhamdulillah, ia meninggal dalam keadaan muslim” aku tercengang mendengar ucapan kiayi Ahmad, apa maksud ‘ibu meninggal dalam keadaan muslim’ aku menggelengkan kepala dengan kedua alis berkerut. Kiyai Ahmad seperti mengerti tembakkan pertanyaan di wajahku, laki-laki tua itu tersenyum sebentar “Ibumu, bukan ibu kandungmu” apa ? apa katanya ? baru saja aku menelan gumpalan yang menyangkut di tenggorokkan, bagai bom waktu yang menunggu di ledakkan, aku meluap dengan emosi tak tertahankan, emosi bercampur kepedihan. Usiaku kini dua puluh lima tahun, dan aku baru mengetahui kenyataan yang begitu, entah apa aku menyebutnya.
“Ia seorang biarawati di sebuah desa yang jaraknya jauh dari desa ini. Kali pertama ia datang ke desa ini membawamu yang masih terbungkus kain penuh darah. Katanya, kau lahir dari rahim seorang wanita muslimah yang sangat cantik, ibumu tidak mengenal ibu kandungmu, tapi waktu itu desanya sedang di landa bencana, ibumu melihat wanita berpakaian tertutup sedang merintih kesakitan, ibu kandungmu yang saat itu ingin melahirkanmu. Kau lahir dengan mudah, senyum pertama dan terakhir ibu kandungmu masih begitu di ingat ibumu. Ibu kandungmu berpesan untuk memberikanmu nama Dunia, katanya, jika kelak kau bertanya akan nama itu, jawablah ‘ibu memberi nama kau Dunia, supaya kau hidup untuk akhirat’, selepas mengucapkan pesan itu, ibu kandungmu meninggal” aku memejamkan mata, menarik napas panjang dengan menahan sayatan bertubi di palung hati, ingatanku berputar, telingaku sayup-sayup mendengar suara ibu, jawaban tentang namaku.

Aku, seorang yang biasa di panggil ustadzah, ternyata di besarkan oleh seorang biarawati. Semua pertanyaan-pertanyaan yang membentuk tanda tanya besar dalam hidupku kini telah terjawab.

Pelan-pelan wajah sangar ibu dengan rambut keriting kecil-kecilnya berbayang.

“Ibu ..” ada sesak yang begitu menghujam di balik dadaku. Namaku Dunia, namun aku hidup untuk akhirat. Aku akan selalu mengingat kalimat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar