Rabu, 23 September 2015

Tentang mencinta


Satu hari, aku pernah menghabiskan waktu di dalam kereta. Aku sedang tidak bertujuan, pun, tidak sedang diburu ketergesaan. Dari pemberhentian ke pemberhentian aku menaiki gerbong kereta secara asal. Aku hanya sedang ingin melakukan hal yang tidak kebanyakan orang lakukan.  Dalam ramainya pagi, hampanya siang sampai riuhnya petang aku masih tetap berada di tengah-tengah. Pulang belum memanggil.

Entah di kereta yang melaju kemana, di dalam gerbong yang ke berapa, aku menonton sebuah ingatan. Ingatan tentang seorang wanita yang mencinta.

*
Aku memanggilnya ia, ia seorang wanita seperti kebanyakkan wanita. Ia bekerja seperti kebanyakkan orang bekerja. Ia bermain seperti kebanyakkan orang bermain. Ia pun hidup seperti kebanyakkan orang hidup. Suatu ketika, ia berjumpa dengan seorang laki-laki yang tak pernah di kenal sebelumnya. Di perjumpaan pertama itu, dengan lancang hatinya terpaut. Laki-laki yang di lihatnya untuk pertama kali membuat ia tak lagi mudah mengatur napasnya, membuat ia tak pandai lagi mendengar detak jantungnya dengan normal, membuat ia jatuh dan tenggelam ke sebuah virus tak tersembuhkan. Hatinya telah tersentuh, entah bagaimana menjelaskannya, karena jatuh cinta tidak pernah butuh penjelasan.

Ia tidak pernah benar-benar tahu tentang laki-laki yang membuat otaknya tumpul dalam segala hal, ia tidak tahu laki-laki itu anak siapa, ia tidak tahu laki-laki itu sibuk apa, ia tidak tahu laki-laki itu kekasih siapa, ia pun tidak tahu laki-laki itu mengenalnya atau tidak. Tapi satu yang ia tahu, ia mencintainya. Mencintainya dengan cara yang begitu terhormat.

Ia tetap menjalankan hari-harinya tanpa perubahan, walau ia tahu kalau ada perubahan besar di bagian terdalam dirinya. Satu kali pun, ia tidak pernah mencari-cari perhatian laki-laki itu, tidak pernah mencoba menghubunginya, tidak pernah dengan sengaja mengatur berbagai rencana untuk sebuah pertemuan, dan tidak pernah juga mempertontonkan perasaannya.

Kata ia, mencintai perihal tentang memberi sebanyak-banyaknya, tanpa pernah mengharap balas sedikit-dikitnya.

Pada satu waktu, laki-laki itu ia dapati dalam keadaan sakit. Banyak orang yang menjenguknya, bergantian membawakan berbagai jenis obat. Satu per satu menyetor muka kepada keluarganya, mengucapkan turut berduka dan mengakhiri perjumpaan dengan ucapan semoga laki-laki itu lekas sembuh. Ia, dengan segala ketidaktahuannya datang menjenguk. Di tengah ramainya wajah-wajah yang tak satu pun ia kenal, ia berdiri di balik dinding sebuah kamar. Ia percaya, kehadirannya adalah sebuah takdir yang terukir dalam kisah hidupnya. Tidak harus lama, ia hanya ingin melihat laki-laki itu, satu kali lagi saja. Ia seorang diri di balik dinding kamar itu, mengintip di sebuah celah dimana laki-laki itu terbaring. Dalam satu tarikkan napas ia berdoa, tidak panjang, isinya ‘ceriakanlah hari-harinya kembali, aamin’. Doa itu tertutup dengan buliran air yang jatuh di pipinya. Ia berlalu dengan membawa keyakinan kalau Tuhan akan mengabulkan pintanya.

Bertahun telah berganti, laki-laki itu tetap ia cinta. Ia tetap ia sebagaimana dulu. Laki-laki itu pun tetap laki-laki itu, laki-laki yang tidak pernah tahu kalau ia mencintainya.
*
Aku mengerjapkan mata, embusan napas terengah-engah terdengar di telingaku sendiri. Baiklah, aku jujur. Aku memang menghabiskan waktu dari gerbong kereta satu ke gerbong kereta lainnya, itu benar. Aku tak bertujuan, itu pun benar. Tapi ada satu hal yang aku sembunyikan. Aku sedang ingin berlari, berlari sejauh-sejauhnya. Kemana entah. Sampai kapan entah. Aku hanya ingin berlari. Terus berlari.

Cerita ia tanpa sengaja telah menamparku. Aku yang sedang sepenuh hati berusaha mendapatkan orang yang ku cinta. Padahal aku mengerti, cinta tidak pernah bisa dipaksakan, bukan ? Tidak. Tidak. Mungkin ini bukan cinta, entah apa aku menyebutnya. Ya Tuhan ., ini cukup membuatku terpuruk. Cinta-kah ? Atau hanya sebuah hasrat untuk memiliki ? Tapi jika memang mencinta adalah tentang memberi sebanyak-banyaknya tanpa berharap sedikit-dikitnya, kusimpulkan kalau kisah yang sedang aku alami bukanlah mencinta. Karena apa yang aku berikan telah bercampur dengan harapan akan balasan. Dan mencinta ? Tidak pernah serumit itu.

Aku masih ingin berlari, boleh-kah ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar