Jumat, 04 September 2015

imam SPBU

Nedha

Apa kau tahu rasanya jatuh hati pada seorang yang hanya sekali kau lihat ? Tidak. Tidak. Tidak benar-benar kau lihat. Sungguh, rasanya seperti obat puyer yang ketika kau minum, wajahmu akan meringis menahan pahit.
Tapi bagaimana ku jelaskan, aku tengah mengalaminya. Jatuh hati pada seorang pemuda yang tanpa sengaja menjadi imam di sebuah mushola SPBU. Aku menjadi makmum masbuk dalam sholat maghrib, ketika baru saja kedua tanganku terangkat untuk masuk ke dalam gerakkan sholat, aku tercekat. Telingaku menangkap suara lantang, lantang yang menyentuh begitu lembut ke dasar hati. Lantunan surat Al-Insyrah menusuk relung hatiku dengan bacaan syahdu terbungkus merdu. Tenang. Sungguh-sungguh menenangkan. Lantunan ayat-ayat itu mengguncang bahuku. Aku terisak tanpa tahu mengapa, air mataku mengalir begitu saja.

Sholat maghribku telah selesai. Seseorang yang berdiri di sebelahku bertanya ‘kenapa kamu ?’ aku hanya mempu menggeleng dengan melempar senyum padanya. Aku tak punya jawaban untuk menjelaskan. Aku buru-buru bangkit, mencari, siapa gerangan pemilik suara yang begitu indah. Tapi sayang, mushola kecil itu sudah kembali terisi dengan imam yang lain. Aku menghela napas dengan rasa penasaran di puncak. Aku sibuk memikirkan seperti apa sosok pemilik suara itu. Namun takdir memberiku celah untuk menyudahi penasaranku.

Subhanallah, suaramu sungguh luar biasa. Kamu seorang ustadz ?” aku melihat seorang lelaki setengah baya sedang menyapa pemuda berambut gondrong yang memakai setelan jeans dan atasan kemeja yang menari-nari terkena angin, di balik punggungnya terlihat ransel cokelat. Aku sedikit ragu, mana mungkin pemuda yang berdiri membelakangiku adalah imam sholat maghrib tadi. Aku masih diam di tempatku berdiri, di sebelah tempat sampah di depan pintu keluar masuk mushola.

“Bukan, pak. Saya bukan ustadz” pemuda itu menjawab, aku memasang telingaku baik-baik, berharap mendapati suara yang serupa dari sosok pemuda itu. Aku mendecakkan lidah kecewa, suaranya memang sedikit mirip, tapi mana mungkin.

“Saya baru pertama kali mendengar surat Al-Insyrah semerdu itu, menenangkan” tubuhku mendadak membeku saat mendengar kalimat yang keluar begitu jelas dari laki-laki setengah baya yang sepertinya juga tengah terkagum-kagum dengan imam di mushola SPBU tadi. Jadi, benar, pemuda gondrong ini adalah pemilik suara itu. Aku buru-buru melangkah, penasaran dengan wajahnya. Namun sungguh sayang, sebelum aku mendapati seperti apa rupanya, pemuda itu sudah menjauh. Masuk ke sebuah mobil bak terbuka. Mobil yang membawanya pergi meninggalkanku dengan menyisakan rasa penasaran.

Aku tahu, kedengarannya konyol, tapi hati memang tak pernah bisa berpura-pura. Aku jatuh hati, benar-benar jatuh hati dengan pemuda gondrong yang menjadi imam sholat maghrib di mushola SPBU itu.

Entah, ini kali keberapa aku sengaja datang ke SPBU yang lumayan jauh dari tempat tinggalku. Aku datang, hanya berharap, sekali lagi takdir memberiku celah untuk menjadi makmum pemuda gondrong itu.

*

Pandu

Apa pernah lo bayangin, lo jatuh cinta sama orang yang baru pertama kali lo lihat ? Ah, itu memalukan banget. Sialnya, gue jadi pemeran utamanya. Bukan. Ini bukan perkara jatuh cinta pada pandangan pertama, karena gue ataupun dia belum pernah saling pandang. Dia, gadis berjilbab hitam itu untuk pertama kalinya gue lihat begitu tulus mengajari anak-anak timur di ujung sebuah dermaga. Sore itu gue menghilang dari galerry, pameran lukisan yang ada beberapa lukisan gue di pajang disana. Gue memutuskan untuk menikmati petang di sebuah pantai di pulau misol. Shit, di balik ranting-ranting yang di tumbuhi banyak daun, sepasang mata gue melihat seorang gadis berjilbab sedang duduk bersama, lima, tujuh, atau entah berapa jumlahnya anak-anak berkulit eksotis. Bukan wajahnya yang menarik perhatian gue, atau senyumnya yang mampu membius gue. Tapi disana, gue melihat gadis itu duduk di lingkari anak-anak, mengajari mereka membaca.

Kaki gue nyaris melangkah, mendekat, namun dering ponsel dari orang galerry brengsek itu mengacaukan segalanya. Gue harus buru-buru kembali ke galerry.

Dan ini kurang ajar, gadis itu melekat di ingatan dan palung hati gue. Lebih dari empat tahun gue berharap takdir mempertemukan kita. Ini konyol, tapi gue selalu ingat kata-kata guru ngaji gue waktu di pesantren, ‘jodoh enggak akan kemana, jodoh hak preogatif Allah’. Empat tahun ini gue sibuk memperbaiki diri, karena gue yakin, gadis yang gue lihat di ujung dermaga pulau misol itu adalah gadis baik-baik. Jadi, mana mungkin ketemu kalau gue bukanlah orang yang baik.

Gue pernah satu waktu balik ke pulau itu, dengan sengaja mencari tahu sosok gadis yang membuat hari-hari gue, ada baiknya, ada galaunya, ada konyolnya, ada menyiksanya juga. Udah gue bilang, gue jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Nihil. Gue cengok saat ditanya mencari siapa, namanya siapa, kapan berkunjugnya. Arrrrrgh, gue enggak punya apapun dalam pencarian itu. Gue duduk di ujung dermaga itu, diam mematung di tempat gadis berjilbab hitam itu tersenyum penuh sayang di tengah anak-anak misol. Gue memejamkan mata, lagi-lagi gue ingat cerita yang pernah di ceritakan guru ngaji gue, cerita tentang Siti Hawa dan nabi Adam yang saling mencari selama bertahun-tahun. Dan, well, mereka bertemu di jabbal rahmah. Tapi fine, Siti Hawa jelas mencari suaminya nabi Adam, begitu juga nabi Adam yang mencari Siti Hawa. Nah gue ? Apa iya gadis berjilbab hitam itu juga nyariin gue ?

Malam ini, gue ada janji sama seorang penulis puisi yang bukunya akan terbit. Gue diminta sama salah seorang teman buat menjadi ilustrator di buku itu. Ini udah jam berapa ? Gue masih asyik mikirin gadis berjibab hitam di ujung dermaga pulau misol.

Pandu .. hey, move ! Bangun !

*

Nedha

Aku mematut diriku di cermin. Tiga tahun lebih aku menunggu pemuda gondrong itu. Aku sibuk dengan segala rutinitas. Bekerja. Traveling. Menulis. Tapi tetap saja, dalam pejaman ataupun mata terbuka, pemuda gondrong itu hadir. Lucu. Aku hanya melihat punggungnya, dan .. sedikit wajahnya ketika ia berada di dalam mobil bak terbuka waktu itu. Tapi sampai detik ini, suara tenang miliknya belum juga hilang dalam ingatan. Aku tak memiliki apapun tentangnya, aku sulit menjelaskan, bahkan pada logikaku sendiri, kenapa aku ?

Aku tak bernyali untuk mencari hati yang lain, aku takut, kelak, ketika aku menemukan, aku akan meninggalkan apa yang aku cari. Aku ingat kisah terdahulu. Kisah cinta yang selalu ku gemari. Kisah cinta Fatimah dan Ali. Keduanya mencinta, namun memilih bungkam. Menyerahkan hati mereka kepada pemiliknya, tentu saja Tuhan. Tidak hanya satu ataupun dua, banyak temanku berkata kalau aku terlalu sibuk menikmati hidup. Kata mereka yang sudah menikah, aku hanya perlu seorang yang mampu mengalihkan semua kesibukkanku. Dan, andai mereka tahu, aku telah mendapati orang tersebut. Pemuda yang menganggu hari-hari sibukku.

Sekali lagi, aku mematut diriku di cermin. Malam ini, aku ada janji untuk bertemu dengan seorang ilustrator dari kumpulan puisiku. Kata editorku, ia seorang pelukis. Entah, aku tak begitu peduli.

*

Pandu

“Jam berapa ini, mbak ?” secangkir kopi hampir habis gue teguk. Ini kemana penulis itu, Mbak Janet, teman gue berkali-kali sibuk dengan ponselnya. Katanya, penulisnya kena macet. Klasik.

“Kalau gitu gue isya dulu deh, ini udah hampir setengah delapan” gue bangkit dari kursi empuk sebuah kafe. Mbak Janet mengangguk dengan cengiran “Lo rajin ya ibadah, tapi sumpah, orang yang enggak kenal sama lo, enggak bakalan ngira kalau lo itu pemuda yang soleh” entah itu pujian, atau sebuah senjata yang di pakai mbak Janet untuk meredakan kekecewaan gue.

“Basi” kata gue dengan tawa simpul dan berlalu meninggalkan wanita berambut pendek sebahu itu. Gue keluar kafe yang ada di lantai tiga sebuah mall, menuju basement.

“Mau sholat, kan, nak ?” seseorang laki-laki tua menegur gue, gue mengangguk sopan “Bapak jadi makmum, ya” katanya sambil mempersilakan gue berdiri di tempat imam. Gue sungkan, tapi enggak menolak. Gue berdiri di depan laki-laki tua yang sedang mengumandangkan iqamah.

*

Nedha

Aku mendecakkan lidah, buru-buru keluar mobil yang sudah sempurna terparkir. Rasa tidak enak menjalariku, bagaimana ini, aku telat tiga puluh menit lebih. Namun langkah cepatku terhenti, tepat di depan sebuah mushola yang ada di basement bangunan berlantai lima itu. Tubuhku membeku. Seluruh badanku terasa panas, aliran darahku mendadak cepat. Aku menelan ludah dengan susah payah, padahal tenggorokkanku terasa begitu kering. Kakiku yang membeku pelan-pelan terasa lemas, bahkan sepertinya tak kuat menopang tubuhku. Aku melangkah pelan-pelan dengan berpegangan pada tiang-tiang dinding di ruang bawah tanah itu. Ponselku terus berdering, namun suara itu enyah tertumpuk dengan suara yang selama ini ku rindukan. Jantungku berdebar dengan begitu kencangnya. Aku bersandar di pintu masuk mushola, bagaimana ini ? Jika aku memutuskan untuk sholat isya lebih dulu, aku akan menjadi makmum masbuk. Tidak. Aku tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan ini, kehilangan lagi jejak pemuda gondrong itu. Imam di mushola SPBU. Tapi kalau aku harus menunggunya sampai selesai sholat, dengan pengertian lain, aku menyia-nyiakan waktu sholat. Aku melangkah sekuat tenaga ke tempat wudhu, membasuh bagian-bagian tertentu. Aku percaya, Tuhan, apabila di dulukan, Ia tidak akan pernah berkhianat. Aku berdiri di shaf wanita. Hanya ada aku disana.

Usai salam, aku berdiri. Lemas. Di shaf laki-laki hanya tertinggal satu orang laki-laki berumur dan dua orang yang masih mengerjakan sholat. Aku mengatur napasku baik-baik, kesetiaan ini, aku percaya, selama itu di jalan yang benar. Kebaikan yang akan aku dapatkan.

Kadang, sesuatu yang selama ini kita kejar, terasa biasa saja saat keberadaannya telah dekat. Aku bukan gadis penasaran tiga tahun lalu. Menjadi setia kepada orang yang tak ku kenal memberikanku banyak pemahaman, aku melirik ponselku. Ya ampun, jam berapa ini ?

*

Pandu

Satu setengah cangkir kopi habis gue teguk. Kalau bukan macet kemudian sholat, alasan yang diberikan penulis itu ke mbak Janet, gue pasti udah cabut dari tempat ini.
“Syukur deh dia udah datang, hai sayang” mbak Janet menyambut hangat seorang .. .. seorang .. .. my God. Ini enggak mungkin. Gue berdiri kayak patung atau orang yang baru saja di siram air keras. Gadis ini, gadis yang berdiri tepat di depan gue. Gadis yang memakai dress hitam dengan bolero bercorak abu-abu, dan .. dan .. jilbab hitam. Ini. Dia. Dia gadis yang gue lihat di ujung dermaga pulau misol. Gadis yang empat tahun ini nyaris membuat gue gila. Dia menatap gue dengan kedua matanya yang bulat. Wajahnya memerah.

*

Nedha

“Maaf ya .. ..” aku belum sempat meneruskan kalimat yang menggantung itu ketika tepat di sebelah kananku berdiri seorang pemuda. Pemuda .. .. pemuda gondrong yang memiliki suara menenangkan itu. Pemuda yang tiga tahun lebih membuatku menutup hati. Menjaga setia. Jantungku meloncat kegirangan. Namun sesak di dadaku tak terelakkan. Aku memaksakan seulas senyum, dengan bibir bergetar aku bertanya “Apa kamu yang jadi imam sholat isya di basement tadi ? yang di rakaat kedua membaca surat Al-Insyrah ?” aku mengatur degup jantungku hati-hati menunggu jawaban yang akan ku dengar. Pemuda itu, entah kenapa, ia terlihat begitu terkejut menatapku. Ada apa dengannya ?
Pemuda itu diam cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk dengan serba salah. Aku tersenyum dengan tangis yang pecah.

*

Aya

Isssh .. ini ngapain gue ada disini ya. Sorry. Sorry !

2 komentar: