Selasa, 06 Mei 2014

Lebih dari sekadar jejak pemandu wisata

 (cerita cinta sepulang dari Bangka)

Ini kisahnya, gadis berjilbab dengan senyum yang terlihat manis saat mengembang di wajahnya. Pagi itu dengan takzim aku menyimak kisahnya.

Pertengahan Maret, ia bersama kelima teman kantornya bertamu ke Bangka, pangkal pinang. Satu perjalanan yang di perkhususkan dengan satu orang guide. Bukan. Jelas, perjalanannya jauh berbeda dengan perjalanan yang biasa ku lakukan, aku pengikut berat open trip dan backpacker, bukan travelling khusus macam ini.

Pesawat yang di tumpanginya tiba di bandara Adipati amir, Pangkal pinang jam 5.45 pagi. Mereka berada di udara hanya sekitar empat puluh lima menit dari Jakarta. Tak ada yang mereka lakukan selain menunggu kabar dari seorang teman yang memberikan contact seseorang yang akan menemani tiga hari kedepan keberadaan mereka di kota penuh pantai itu. Salah seorang dari mereka, ya, gadis pemilik kisah ini menghubungi nomor tersebut, mengabarkan, kalau ia dan kelima temannya sudah sampai di bandara.

Seorang laki-laki yang menggunakan kaos barca_yang akhirnya gadis itu tahu kalau itu adalah team sepakbola kesukaan laki-laki itu_, celana jeans biru, sepatu cokelat lucu, dan gelang kuning di tangannya. Perawakkannya atletis, matanya sipit dengan kedua bola mata senada dengan warna asli coklat kucing Persia. Tak ada istimewa kali pertama ia melihatnya. Pertemuan biasa antara pengunjung dengan guidenya. Setelah saling berjabat tangan, laki-laki itu membantu gadis itu dan dan kelima temannya memindahkan barang-barang ke dalam mobil. Mobil melesat meinggalkan bandara, menuju hotel Tanjung Pesona di Sungailiat untuk menyimpan apa-apa bawaan mereka. Tak peduli lelah, mereka kembali masuk ke dalam mobil dan mencari sarapan. Gadis itu duduk tepat di sebelah laki-laki yang akan menjadi guide dalam perjalanannya. Mobil berhenti di sebuah rumah makan yang menjadikan tek wan sebagai menu utamanya, merasa belum kenyang, mereka mencari ikan bakar untuk dijadikan makan besar. Rasa yang tak biasa hadir di lidah mereka, daging ikan yang manis dengan campuran kecap dan jahe dan tanpa menggunakan bumbu lainnya, memang agak hambar, tapi daging ikan yang manis menutupi semua kekurangan rasa dari ikan bakar tersebut.

Laki-laki itu mengantar mereka ke pantai Parai, beach private island. Tak ada kata lain yang keluar dari bibir gadis itu selain ‘Subhanallah’. Perjalanan berlanjut ke pantai Tikus, dengan sabar, laki-laki itu menemani mereka yang berkali-kali berhenti untuk mengambil gambar. Tak ada alasan bagi seorang guide untuk melarang kliennya untuk melakukan apa yang di inginkannya, bukan ?
Pantai Parai
Menjelang malam, mereka menikmati roti terenak di Bangka, tung tau namanya. Roti bakar yang terkenal sejak 1938.
Jam delapan malam, laki-laki itu mengantar gadis itu dan kelima temannya kembali ke hotel. Perjalanan yang membuat senyum terus mengembang di wajah gadis itu lantaran kelima temannya tak henti-hentinya berkata ‘cie cie’. Ada apa ini ? Gadis itu sebisa mungkin bersikap biasa saja, tak menggubris candaan yang keluar dari mulut teman-temannya. Alunan lagu beberapa band papan atas dalam negeri terdengar di dalam mobil itu. Menemani kericuhan yang diciptakan oleh lima gadis lainnya.

“Mau di jemput jam berapa besok ?” tanya laki-laki itu ketika mereka sudah sampai di depan hotel.
“Jam delapan” gadis itu yang menjawabnya. Laki-laki itu pun berlalu, membiarkan gadis itu dan kelima temannya beristirahat.

Hari berikutnya, tepat jam delapan pagi laki-laki itu sudah memarkirkan mobilnya di depan kamar gadis itu. Bersiap untuk kembali menjadi pemandu wisata untuk keenam pangunjung luar kotanya. Laki-laki yang menggunakan kaos biru dan celana pendek itu terlihat lebih santai dari sebelumnya.
Pantai Matras
Pantai Matras, pantai Rambak, dan tempat pembuangan Soekarno di menthok Bangka barat/menumbing adalah tempat-tempat yang akan di kunjungi mereka di hari kedua. Sungguh luar biasa karya Tuhan yang tercipta, dalam keindahan alam dengan sejuta pesonanya membuat kedua mata enggan untuk berkedip. Dalam perjalanan ke menumbing, mereka melewati beberapa desa dengan bacaan di dalam plang hijau berukuran sedang bertuliskan : Melewati sungai batu rusak ; desa Puding besar, desa Dalil, desa Tiang tara, desa Nangnak, desa Kapuk, desa Maras senang, desa Kelapa, desa Berang, desa Tritip, desa Pelangas, dan desa Tanjung kalian. Pemandangan pesisir pantai, kebun sawit yang terhampar luas dan jalanan yang mulus tanpa macet membuat mereka hanyut dalam tenang. Seketika, salah seorang dari lima gadis yang duduk di bangku penumpang berkata “Mas, si cantik ini suka lho sama lagu-lagunya Element”. Gadis itu tersenyum malu menanggapi setiap kata yang keluar dari kelima temannya. Laki-laki yang duduk di sebelah gadis itu hanya tertawa menanggapinya. Tak ada yang istimewa bagi gadis itu, pun bagi laki-laki itu pada detik itu, mungkin.
Pantai Rambak

Menumbing
Tempat pembuangan Soekarno



Sebelum kembali ke hotel, laki-laki itu mengantar kelima teman gadis itu mencari tempat ibadah. Ya, gadis itu muslimah, lima teman lainnya kristiani. Setelah menemukan satu gereja yang akan menjadi tempat untuk kelima teman gadis itu beribadah besoknya, mereka semua kembali ke hotel jam delapan malam.

Hari ketiga di perjalanan itu, sebelum mengantar lima temannya, mereka semua menikmati breakfast di pinggir pantai yang tak akan cukup tumpukkan pujian untuk menggambarkan keindahannya. Aku pun speechless ketika melihat gambar yang dikirmkan gadis itu, aku mendecakkan lidah sekali, racun, desisku. Gadis itu melanjutkan kisahnya, laki-laki itu mengantar dirinya dan lima wanita lainnya ke gereja.
Pemandangan belakang hotel Tanjung pesona
Dua jam gadis itu habiskan bersama dengan guide yang sudah tiga hari dikenalnya. Laki-laki itu mengajak gadis itu untuk melihat surga-surga tersembunyi di Bangka. Selain penuh dengan pantai dan pesona alam dengan jajaran pohon kelapa sawit di sepanjang jalannya. Disana, laki-laki itu juga mengajak gadis itu kesebuah Klenteng umat Budha yang baru setengah jadi bangunannya, meski belum sempurna bentuk bangunan itu tak sedikitpun mengurangi keindahan bangunan dengan nuansa merah dan emas. Bangunan itu tepat menghadap ke pantai. Tempat ibadah yang bisa dibilang menenangkan, mungkin, tidak hanya bagi umat Budha. Gadis itu pun merasakan kedamaian ketika berada disana. Perjalanan yang hanya ada seorang laki-laki sebagai guide dan gadis itu berlanjut ke sebuah tempat bekas tambang timah yang sudah diperbaharui menjadi sangat bagus, persis seperti danau. Laki-laki itu tak banyak diam, ia bercerita banyak hal tentang dirinya, keluarganya, kehidupannya kepada gadis itu. Hal yang entah mengapa membuat gadis itu merasa lebih baik. Gadis itu mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut laki-laki itu dengan takzim. Dua orang asing yang seketika menjadi intim. Seperti sahabat lama yang baru kembali bertemu. Dua orang asing itu menutup perjalanan dua jam mereka dengan mengunjungi sebuah kebun buah naga milik warga.
Klenteng umat Budha
Kebun buah naga
Dua jam terasa begitu cepat, keduanya kembali menjemput lima teman gadis itu di gereja. Gadis itu merasakan sesak di dadanya ketika sadar kalau sejak tadi, lagu-lagu yang terdengar di dalam mobil adalah lagu-lagu band dalam Negeri kesukaannya. Pikirannya mulai melayang jauh. Senang. Sebatas itu.

Jumlah penumpang di dalam mobil itu kembali seperti semula, mereka mencari makan siang, mie koba_mie asli Bangka_ entah rasanya seperti apa, gadis itu tak menceritakannya kepadaku. Mungkin, ia tengah tenggelam dalam sebuah rasa lebih yang jika ku simpulkan, rasa itu adalah cinta. Aku masih menyimak dengan takzim setiap kalimat yang dikirimkannya melalui applikasi pesan di ponselku.

Ternyata, waktu masih ingin bermain kepada dua orang yang tak lagi merasa asing tersebut. Laki-laki itu dan gadis itu. Keduanya kembali mencari menu lain, gadis itu tak bisa jika harus memakan mie, perutnya asli Indonesia mungkin, atau bisa jadi ia punya alergi. Atau, itu adalah salah satu kebetulan agar keduanya kembali masuk kedalam waktu yang terasa begitu cepat. Lupakanlah. Laki-laki itu mengantar gadis itu ke sebuah rumah makan yang menyediakan menu ayam bakar plus nasi. Tak lama, karena waktu terus berputar memburu mereka.

Perjalanan terakhir sebelum kembali ke bandara Adipati amir, mereka mengabadikan setiap momentnya di Bangka botanical garden, pantai Tikus dan pantai Parai. Jika ada kalimat yang menggambarkan suasana hati gadis itu, bolehlah ia menyimpulkan, betapa puasnya menikmati liburan di sungailiat. Dan tak lupa, nilai plus untuk sebuah rasa dari sang pemandu wisata.
Botanical garden
Perjalanan selesai. Tapi tak pernah benar-benar selesai. Sepulangnya dari Bangka, laki-laki itu menciptakan komunkiasi intens dengan gadis itu. Perjalanan yang menyisakan rasa di hati keduanya. Entah keduanya, atau hanya sepihak ? Tapi gadis itu berkata kepadaku kalau laki-laki itu sudah mengatakan kepadanya, kalau ia menyukainya. Ungkapan yang membuat nyaris panas seluruh tubuh gadis itu. Membuatnya melambung kedalam satu pengharapan besar. Entah siapa yang harus disalahkan, waktukah ? kelima teman yang meledeknya kah ? atau, laki-laki itu ? atau, tak pernah ada yang salah dengan sebuah rasa ? Aku pun tak paham dengan apa yang harus ku simpulkan.

Tiga hari memang bukan waktu yang cukup untuk menyimpulkan bahwa kita telah jatuh cinta. Tapi peduli apa dengan jumlah detik yang berdetak itu, bukankah cinta tak pernah mengenal waktu ? Ia selalu datang tanpa permisi, ada yang hanya lewat namun tak jarang yang menetap hingga berkarat. Memang tak ada status yang pasti diantara keduanya. Laki-laki itu dan gadis itu. Ketika laki-laki itu mengungkapkan perasaannya melalui telepon seluler, sms, telpon, atau video call_aku tak bertanya kepada gadis itu, aku membiarkannya buncah menceritakan apa yang sedang dirasakannya_ gadis itu menegaskan kalau ‘berteman’ saja dulu. Bukan jawaban yang salah menurutku, ya, jika ada yang tak sepaham pun tak mengapa. Seharusnya, laki-laki itu tak langsung menyimpulkan kalau gadis itu tak menyukainya. Tapi sudahlah, aku tak pandai bercakap-cakap tentang cinta.

Sebulan berlalu setelah perjalanan itu, hari-hari pun berganti setelah laki-laki itu mengungkapkan perasaannya kepada gadis itu. Aku menelan ludah dengan susah payah ketika membaca pesan yang di kirim gadis itu berikutnya, ‘tapi aku enggak tahu, laki-laki itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Tiba-tiba suka menghubungiku, tapi kemudian nomor ponselnya sering enggak aktif’.

Di pesan berikutnya, aku mengerutkan dahi dengan mulut terbuka, ‘aku harap dia baik-baik saja, meskipun enggak ada kabar lagi, aku udah cukup bahagia mengenalnya’ aku yakin, gadis itu sedang berusaha melawan kecemasan yang ada di hatinya. Bagaimana mungkin ? seseorang yang mengatakan kalau ia menyukai dirinya, tiba-tiba menghilang begitu saja. Tidak. Cinta laki-laki itu tak sepihak, aku berani menjamin, karena dengan adanya tulisan ini pun kurasa dunia tahu kalau gadis itu sangat mencintainya. Tak salah bukan, kalau aku mengatakan cinta tak selalu menyenangkan. Tapi aku selalu membisikkan kepada hati kecilku, kalau cinta tak pernah salah.

Aku pernah mendengar, lalu menjadikan kalimat yang ku dengar tersebut sebagai kalimat yang sering ku sampaikan, bahwa perjalanan adalah menemukan ketidak tahuan. Perjalanan adalah menemukan. Cinta sesuatu yang juga bisa di temukan, bukan ? Banyak cinta yang tumbuh dari sebuah perjalanan. Mungkin, kisah gadis itu hanya bagian kecil dari cerita cinta lainnya.

Gadis itu berkata kepadaku kalau dirinya bukanlah orang yang mudah jatuh cinta. Tapi mungkin, tak penting lagi penilaian tersebut, karena hatinya telah menerobos anggapan itu. Ya, gadis itu telah kalah dengan pendiriannya ketika cinta menghampirinya. Ah, teoriku tak salah, bukan ? sebanyak apa pun kau menjelaskan pengertian cinta, semua akan berbeda ketika sebuah rasa berlabel virus merah jambu itu menyelundup masuk. Pemandu wisata itu sudah memberikan lebih dari sekadar jejak di hati gadis itu. Bahkan ia berniat untuk tetap menunggunya.
Percayalah, cinta tidak pernah tak adil. Ketika dengan tulus kau mencintai seseorang, seseorang yang bahkan mungkin tak pernah mencintaimu. Dibelahan bumi lain, ada seseorang yang juga mencintaimu sebesar rasa yang kau berikan untuk seseorang itu. Cinta selalu memberikan penghormatan bagi siapapun yang mempercayainya.
Jika kau telah sampai di ujung tulisan ini, maukah kau memberikan beberapa detik waktumu untuk mendoakan yang terbaik untuk kisah ini. Tidak. Aku tak memaksa. Tidak. Aku pun tak mau menyimpulkan bahwa yang terbaik dalam kisah ini adalah bersatunya laki-laki itu dan gadis itu. Tidak. Ending tak selalu membahagiakan, bukan ? aku hanya berharap yang terbaik untuk ending kisah ini.



Ini kisahnya, bukan kisahku.

semua foto dan sumber cerita adalah hak gadis si pemilik kisah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar