Minggu, 08 Juni 2014

Pagi


Saya lupa, kapan saya mulai menyukainya, 'waktu' yang sering kali di maki oleh sebagian orang. Mungkin orang-orang itu punya alasan masing-masing kenapa mereka membenci pagi. Tak terpungkiri, saya pasti pernah memaki 'waktu' dalam pergantian hari itu.
Pagi tadi, ketika beberapa orang masih bersembunyi di dalam selimutnya, saya kembali melakukan rutinitas yang biasa saya lakukan ketika menjadi pengangguran. Menyapa pagi. Tidak, setelah saya kembali bekerja pun, saya tetap menyapa pagi, hanya caranya saja yang berbeda.

Sekitar jam lima lewat, saya bersama maa melangkah ringan menuju sebuah lapangan. Lapangan berumput yang tidak pernah asing buat saya. Jarak dari tempat saya tinggal ke lapangan itu memang tidak dekat, kami harus melewati beberapa blok perumahan untuk sampai disana. Ini yang saya suka. Melangkah di jalanan yang sepi, di pagi hari.

Saat sampai di lapangan berumput itu, saya akan lari di pinggir lapangannya. Lari semampu saya. Namun pagi tadi, saya tidak berlari, kondisi kesehatan saya sedang tidak memungkinkan. Saya melangkah pelan memutari lapangan berumput itu. Maa ? Maa akan duduk di sebuah bangku yang terbuat dari semen, duduk menunggu saya sambil menunggu tukang nasi uduk langganannya.

Lapangan berumput itu tak lagi sama seperti tujuh belas tahun yang lalu, ketika saya baru masuk sekolah dasar. Beberapa orang memanggil lapangan itu dengan sebutan 'blok lebar' ada juga yang memanggilnya 'lapangan RGM', saya tidak tahu mengapa. Dulu, lapangan itu adalah tempat yang selalu di jadikan ruang gerak oleh guru olah raga saya dalam memberikan berbagai materi ataupun praktek. Saya selalu menyenanginya, berada di alam terbuka.

Banyak hal yang saya temui hanya di pagi hari, seperti beberapa orang yang bergegas untuk berangkat kerja. Bapak-bapak tua yang menyampirkan karung di pundaknya, juga ibu-ibu penjual kue basah yang menyusun dagangannya di sebuah tampah dan meletakkannya di atas kepalanya. Semua orang punya cara tersendiri untuk menjemput rezekinya, dan Tuhan tak akan pernah meninggalkan orang-orang yang percaya akan takdirnya tersebut. Suara burung yang entah dimana ia bertengger, embusan angin yang menerpa wajah saya, dan harapan akan dua puluh empat jam waktu kedepan. Saya menemukan semua itu hanya di pagi hari.

Pagi bagaikan awal dari sebuah kehidupan, doa dalam sebuah harapan dan nikmat atas satu kesempatan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar